SEMARANG, iNews.id – Dua kasus dugaan bunuh diri di Kota Semarang terjadi dalam dua hari pada Selasa (10/10) dan Rabu (11/10). Ironisnya, korban semuanya mahasiswi.
Hal itu mengundang perhatian sejumlah kalangan. Psikolog Polda Jateng, AKBP Novian Susilo menyebut peristiwa bunuh diri adalah insiden yang tidak terjadi secara spontan. Ada proses tertentu, hingga akhirnya seseorang nekat mengakhiri hidupnya. Sebagai pencegahan, support system dari lingkungan sangat berpengaruh.
“Mahasiswi pada level remaja dan dewasa awal, itu fase belajar mandiri dan mencari jati diri. Perempuan depresinya tinggi, tergantung dukungan lingkungan, kalau tidak ada keluarga, tidak pernah ngobrol, ya susah,” katanya kepada iNews.id, Kamis (12/10).
Di psikologi, kata Novian, ada perilaku meniru cara menyelesaikan masalah, termasuk adanya surat terakhir yang dituliskan korban. Membedah isi surat terakhir para korban, kata Novian, ada sisi positif dan negatifnya.
Positifnya bisa mengedukasi, misalnya apa keinginan orangtua korban atau ada persoalan apa hingga harus nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Namun, sisi negatifnya adalah bisa ditiru oleh orang lain yang kebetulan pada saat bersamaan punya persoalan yang sama“Istilahnya copy cat,” sambungnya.
Pada kasus-kasus seperti itu, yang terjadi di wilayah hukum Polda Jateng, Novian menyebut pihaknya bekerja dengan penyidik Reserse Kriminal, bersamaan. Ini juga yang jadi imbauan pihaknya ketika ada dugaan bunuh diri, orang tua seharusnya lebih terbuka ketika dilakukan penyelidikan termasuk bagian psikologi menggali informasi.
“Jadi bisa terbuka apa motifnya, ini bisa mengedukasi (agar tidak jadi contoh bagi yang lain),” ujar Kepala Bagian Psikologi Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Jateng ini.
Sementara Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Sri Aryanti Kristianingsih menjelaskan peristiwa bunuh diri diawali dari unsur niat, dan dipengaruhi faktor internal berupa kemampuan copying termasuk karakteristik dan kebiasaan menyelesaikan masalah dan eksternal adalah dukungan lingkungan sosialnya. Tulisan terakhir adalah ekspresi perpisahan.
“Orang yang tidak punya tujuan hidup jelas atau orang yang hidup dalam kemarahan, ketidakberdayaan atau orang yang menarik diri dari lingkungan sosial itu berisiko besar bunuh diri. Perempuan lebih rentan,” jelasnya.
Dia meminta pada kasus seperti itu, lingkungan sosial, termasuk teman-temannya lebih peka jika ada orang yang tiba-tiba berperilaku tidak seperti biasanya.
“Kita harus jadi lingkungan yang positif bagi orang lain. Misal ada perubahan perilaku, dari ceria menjadi murung, harus disapa, ditanyakan, jadi ada yang menolong. Sebab jika ada seseorang sudah merasa tidak berdaya, tidak ada support sosial, itu menambah potensi,” ujarnya.
Dosen Fakultas Psikologi UKSW Salatiga Krismi Diah Ambarwati mengemukakan ada kecenderungan ketika orang melakukan aksi itu saat jauh dari lingkungan tempat tinggal asalnya.
“Yang dua ini bukan asli Semarang, kasus sebelumnya di Yogyakarta juga bukan asli (penduduk Yogyakarta). Orang-orang tersebut terpisah dari keluarga utamanya, setiap anak merasa support system itu keluarga,” kata Krismi.
“Mereka yang ngekos terpisah dari support system utamanya yakni keluarga, jadi merasa tidak ada yang mendukung ketika ada persoalan, merasa ini bukan tempat tinggalku, jadi kalau bunuh diri tidak ada beban karena bukan tempat tinggal utamanya,” ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
bunuh diri mahasiswi mahasiswa kota semarang psikolog uksw polda jateng fakultas psikologi universitas kristen satya wacana
Artikel Terkait