SEMARANG, iNews.id – Dua mantan narapidana terorisme (napiter), Hadi Masykur dan Munir Kartono. Hadi Masykur menceritakan keterlibatannya dalam kelompok Neo Jamaah Islamiyah (JI) dan JAD. Cerita keduanya diungkapkan saat menjadi narasumber kuliah umum Kebangsaan di Kampus Unika Soegijapranata Semarang.
Dalam kuliah umum bertemakan Bahaya Virus Propaganda Radikalisme Terorisme di Media Sosial itu, Hadi Masykur menceritakan, dirinya aktif di organisasi lamanya selama 20 tahun, sebelum akhirnya ditangkap oleh tim Densus 88 Antiteror Polri.
Selama itu pula, dia mengaku tidak memiliki waktu berkumpul dengan keluarganya. Pikirannya menjadi terbuka ketika disadarkan melalui pesan dari sang ibu. Pendekatan dari ibunya membuat ia sadar akan langkah dan cara pandangnya selama ini tidaklah benar.
“Saya berpesan pada mahasiswa untuk memberikan ruang toleransi diri kita atas apa yang dilakukan orang lain, sehingga tidak muncul anggapan diri kita yang paling benar, yang lain salah,” katanya, Senin (20/3).
Sementara, Munir Kartono mengemukakan seorang teroris tidak bisa dilihat hanya dari ciri-ciri fisik yang terlihat, seperti gaya rambut hingga cara berpakaian.
“Ada konsep dan cara berpikir yang salah dalam kepalanya,” ungkap Munir yang ketika acara juga didukung pemutaran film dokumenter kisahnya berjudul “Dari Kecewa pada Bapak jadi Pendana ISIS” karya Kreasi Prasasti Perdamaian itu.
Munir terlibat pendanaan ISIS, orang dekat dengan pentolan ISIS Bahrunnaim hingga memanfaatkan internet dan media sosial untuk menggalang pendanaan. Salah satu keterlibatannya, menyiapkan pendanaan bagi pengeboman di Mapolresta Solo Juli 2016.
Sementara, Kepala Detasemen Khusus 88/Antiteror Polri Irjen Pol Marthinus Hukom mengatakan, kelompok teror memanfaatkan sistem algoritma yang ada di media sosial (medsos) untuk menyebarkan propagandanya sekaligus menentukan sasaran empuk merekrut anggota.
Untuk menangkalnya, perlu menciptakan eco chamber alias ruang gema untuk menetralisir propaganda radikal teror di medsos. Pada konteks ini, mahasiswa dianggap sebagai agen yang pas untuk membanjiri media sosial dengan konten-konten positif sebagai kontra narasi radikalisme terorisme.
“Ini adalah cerdasnya ISIS memanfaatkan medsos, terutama Facebook dan Twitter dipakai untuk merekrut target-target yang rentan. Medsos adalah ‘alat perang’ di era kemajuan informasi teknologi, jangan sampai kita bisa hindari perang tradisional, tetapi perang medsos tidak bisa kita hindari,” ungkap Kadensus.
Menurutnya, Indonesia hadir dalam bentuk keberagamaan dan datang dari berbagai perbedaan. Dia menilai, para pendiri bangsa ini bahkan memberikan landasan filosofi, yang menjadikan negara Indonesia tetap utuh.
"Sebetulnya radikalisme itu ada dalam agama apa pun, tidak hanya terkait dengan satu agama tertentu," ujarnya.
Menurut dia, terorisme bukan monopoli satu aliran tertentu. Paham teroris bisa muncul dalam banyak aliran atau agama. Bahkan, bisa menimpa kepada individu yang tidak beragama sekalipun.
Rektor Unika Soegijapranata, Dr Ferdinandus Hindiarto menyatakan, kampusnya senantiasa mengajarkan nilai-nilai keindonesiaan. Adapun terkait toleransi, pihaknya sudah selesai dengan hal tersebut.
“Implementasi dari nilai-nilai toleransi sudah sepenuhnya dijalankan oleh seluruh civitas akademika. Kami menggembleng generasi muda yang menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya dengan kedewasaan moral dan kepribadian. Sehingga akan berani mengambil peran pemimpin di mana pun mereka berkarya,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jateng, Sumarno menegaskan, perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Sedang radikalisme merupakan bahaya laten yang tidak kelihatan, yang harus diwaspadai kapanpun.
Editor : Ahmad Antoni
napi terorisme jamaah islamiyah unika soegijapranata terorisme radikalisme media sosial medsos densus 88 antiteror polri isis Mapolresta Solo
Artikel Terkait