SOLO, iNews.id - Pasal pengamanan zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di RUU Kesehatan memicu kontroversi. Hal itu dikhawatirkan berdampak kepada masyarakat yang terlibat dalam sektor pertembakauan.
Salah satunya pekerja di pabrikan sigaret kretek tangan (SKT). RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam kelompok yang sama, dinilai mendiskriminasi para pekerja yang didominasi kaum perempuan.
“Upaya Kementerian Kesehatan yang memposisikan tembakau sama dengan barang ilegal jelas sangat mengancam masa depan para pekerja di segmen SKT dan keberadaan pabrikan di daerah,” kata Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Seluruh Indonesia (MPSI), Sriyadi Purnomo, Rabu (17/5/2023).
MPSI selama ini tidak hanya menjadi ladang rezeki bagi karyawan yang bekerja di pabrik. Namun juga menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi di daerah pedesaan. Sebab MPSI dapat memacu usaha-usaha lain untuk tumbuh dan berkembang. Saat ini ada sekitar 45.000 tenaga kerja SKT di bawah naungan paguyuban MPSI.
“Kami memohon pemerintah bijak melihat realita perekonomian yang ada di daerah. Tolong dihapus Pasal 154 mengenai pengamanan zat adiktif di RUU Kesehatan demi keberlangsungan pertumbuhan sektor padat karya. Jangan sampai regulasi yang tidak adil dan diskriminatif menghambat siklus penyerapan tenaga kerja dan perputaran perekonomian daerah,” ujarnya.
Ia sangat mengkhawatirkan kelangsungan para tenaga kerja tembakau nasional. Dirinya berharap pemerintah tetap menjaga kesinambungan dan kepastian kegiatan usaha, khususnya di sektor padat karya.
“Kami butuh perlindungan dari pemerintah pusat agar mampu terus tumbuh dan berkembang. Jangan sampai regulasi yang ada, seperti pasal pengamanan zat adiktif dalam RUU Kesehatan, justru berbanding terbalik dengan komitmen pemerintah meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan pekerja,” ucapnya.
Selama ini, lanjutnya, pemerintah telah memanfaatkan penerimaan negara dari sektor pertembakauan yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dengan demikian, upaya menyamakan tembakau yang selama ini dikenakan pajak dan cukai menjadi sama dengan narkotika dan psikotropika yang merupakan barang ilegal, akan merugikan negara dan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat.
“Kami mohon distop upaya ilegalisasi tembakau. Jutaan tenaga kerja di ekosistem tembakau menggantungkan hidupnya pada komoditas ini,” ujarnya.
Editor : Ary Wahyu Wibowo
Artikel Terkait