Pemandangan kawasan permukiman di pesisir utara Demak, Jawa Tengah, yang terendam banjir rob sejak 20 tahun lalu. (Foto: iNews.id/Dok.)

EMPAT dekade lalu, Desa Bedono di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sejatinya masih berupa kawasan permukiman yang utuh. Namun, sejak 1983, desa yang terletak di kawasan pesisir utara Pulau Jawa itu secara perlahan mulai terkikis abrasi. Pada 1998, luapan air laut akhirnya merendam sebagian wilayah Bedono. Bencana rob itu terus berlangsung sampai sekarang.

“Dulu, di sini ada jalan (mengarah ke utara). Panjangnya dua kilo (2 km) dan bisa dilalui mobil. Sekarang jalan itu sudah ditelan laut,” tutur salah seorang nelayan Bedono, Nasirin, saat menunjukkan lokasi yang terdampak rob di desanya kepada iNews, Oktober 2017.

Dia mengatakan, tidak hanya jalan di Bedono yang tenggelam dilalap Laut Jawa. Ratusan rumah penduduk desa itu pun tak luput dibenam air asin. Sebagian dari hunian itu telah ditinggalkan oleh para empunya. “Total ada sekitar 300-an rumah kena (rob) di Bedono ini. Pemiliknya ada yang pindah ke Semarang, ada pula yang pergi ke desa lain di Demak,” ucap Nasirin.

Berdasarkan pantauan iNews, kebanyakan rumah yang terdampak rob di Bedono berada dalam kondisi lapuk. Beberapa bahkan sudah runtuh dindingnya lantaran terlalu lama direndam air laut.

Menurut Nasirin, sampai sejauh ini belum ada solusi yang jelas dari pemerintah terkait penanggulangan masalah abrasi di wilayah pesisir Demak. Sudah lebih 34 tahun berlalu, kebanyakan hanya janji-janji manis yang keluar dari mulut para pejabat.

Foto udara pemandagan Desa Bedono yang diambil pada Oktober 2017. Desa ini terendam banjir rob sejak 1998. (Foto: iNews.id/Dok.)


Salah satu warga Bedono, Yatin (60), memilih tetap bertahan menempati rumahnya yang terkena rob sejak 20 tahun lalu. Itu terpaksa dia lakukan lantaran tak sanggup membeli tanah atau hunian baru di “darat”. Di rumah yang lembap dan berlumut itu, Yatin kini tinggal bersama istri dan putrinya yang bungsu.

“Dulu, di desa ini penghijauan masih banyak (dilakukan). Tapi setelah terjadi abrasi, air masuk semua (ke rumah-rumah penduduk),” kata lelaki itu mengisahkan.

Anak perempuan Yatin, Siti Nur Khofifah (16), merasa terbiasa hidup di tengah kepungan air laut. Apalagi, sedari lahir dia memang dibesarkan orang tuanya di lingkungan tersebut. Meski sudah belasan tahun tinggal di tempat yang lembap, gadis itu mengaku belum pernah mengidap penyakit serius apa pun.

Setiap hari, kata Khofifah, air pasang biasanya mendatangi Desa Bedono antara pukul 03.30 – 09.30 WIB. Alhasil, rumah yang ditempati tiga beranak itu selalu terendam banjir rob di saat pagi tiba. Ketinggian air laut yang masuk ke rumah mereka kadang bisa mencapai paha orang dewasa. “Kalau mau berangkat sekolah, perjalananku ke luar rumah jadi agak terganggu,” ucapnya.

Menurut Khofifah, upaya penyelamatan Desa Bedono dari ancaman abrasi dan bencana rob tidak bisa dilakukan hanya dengan menanam mangrove. Sebab, kuatnya arus laut dan embusan angin di Pantai Demak telah menyebabkan tanaman bakau yang tumbuh di desa itu mati satu demi satu.

“Dulu, waktu aku kecil, ada banyak sekali mangrove di sini (Bedono). Tapi sekarang udah enggak lagi, karena ombak dan angin di sini kencang banget. Mangrovenya jadi tumbang satu per satu,” ujar perempuan remaja itu.


Pakar lingkungan dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Profesor Sudharto P Hadi menuturkan, peristiwa abrasi sebenarnya terjadi hampir di semua kawasan pesisir Indonesia. Akan tetapi, Pantai Utara Jawa (Pantura) masuk dalam daftar wilayah yang terkena dampak paling parah oleh gejala alam tersebut. Menurut catatannya, area pesisir yang telah terkikis abrasi di Pantura mencapai 60 persen.

“Kenaikan muka air laut menjadi pemicu utama abrasi di kawasan pesisir,” kata Sudharto.

Dia menjelaskan, kenaikan muka air laut sejatinya adalah fenomena yang alami. Namun, sejak dasawarsa 1980-an, naiknya permukaan air laut tidak lagi terjadi secara alami, melainkan dipengaruhi oleh perubahan iklim akibat pemanasan global.

Selain itu, abrasi juga dipicu oleh banyaknya kegiatan manusia di wilayah pesisir. Mulai dari pertanian, perikanan, perumahan, rekreasi (wisata), industri, hingga kegiatan pelabuhan. Beragam kegiatan yang saling tumpang tindih tersebut, menurut Sudharto, menyebabkan berubahnya pola arus laut.

“Perubahan pola arus itu pada gilirannya akan mengikis daerah pantai, sehingga air laut pun masuk ke daratan,” tuturnya.


Sudharto berpendapat, perubahan arus laut yang ditimbulkan oleh aktivitas di satu daerah pesisir kadang juga berdampak merugikan bagi daerah tetangga. Kasus abrasi di Desa Bedono bisa menjadi contohnya. Perubahan arus laut di kawasan itu, kata dia, salah satunya dipicu oleh pesatnya pembangunan di Kota Semarang—yang bersebelahan langsung dengan Kabupaten Demak.

“Di sinilah pentingnya prinsip pengelolaan lingkungan berbasis pewilayahan alias ecoregion. Artinya, apa yang dikerjakan Semarang akan berdampak kepada Demak. Karena itu, Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Kabupaten Demak perlu duduk bersama-sama mencari solusi mengatasi masalah abrasi ini,” ujar mantan rektor Undip itu.

Dia mengatakan, konsep pembangunan berbasis pewilayahan sebenarnya sudah dicetuskan sejak lama oleh Semarang dan daerah-daerah penyangga di sekitarnya. Konsep itu dikenal dengan istilah Kedungsepur yang merupakan singkatan dari Kendal-Demak-Ungaran-Salatiga-Semarang-Purwodadi.

“Persoalannya, Kedungsepur itu hanya bicara tentang ekonomi, belum lagi menyentuh soal aspek ekologi (penyelamatan lingkungan hidup). Inilah kelemahan pola pembangunan kita sekarang,” ungkap Sudharto.

Pemandangan kawasan permukiman di pesisir utara Demak, Jawa Tengah, yang terendam banjir rob sejak 20 tahun lalu. (Foto: iNews.id/Dok.)


Menurut dia, pemerintah perlu segera mengambil langkah serius untuk menyelamatkan wilayah pesisir Indonesia dari ancaman abrasi dan rob berkelanjutan. Di antara upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah membangun sabuk pantai  di kawasan-kawasan rawan terkikis laut, termasuk Pantura.

Langkah semacam ini pernah dipraktikkan oleh masyarakat di Kelurahan Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Di daerah itu, kata Sudharto, pantai yang terkena abrasi panjangnya mencapai 3,5 km. Tambak-tambak milik nelayan setempat dengan luas total 75 hektare pun habis “dimakan” Laut Jawa.

Antara 2002 – 2013, masyarakat Mangunharjo membangun sabuk pantai di area terdampak abrasi secara swadaya. Di sepanjang tanggul penahan ombak itu lantas mereka tanami mangrove.

Sudharto mengungkapkan, ketika tim dari Undip melakukan pengecekan ke Mangunharjo pada 2017, didapati beberapa bagian dari sabuk pantai yang dibangun belasan tahun lalu sudah mulai hancur diterjang ombak. Namun demikian, air laut tidak bisa masuk ke darat karena ditangkal oleh mangrove dan sedimen yang terbentuk di sepanjang tanggul tersebut.

“Jadi, untuk kondisi seperti Bedono ini, (pemulihan lingkungan) tidak serta-merta dilakukan dengan menanam mangrove saja. Karena sudah pasti tanamannya akan hancur oleh gelombang laut. Maka dari itu, diperlukan sabuk pantai agar mangrove bisa tumbuh dan membentuk sedimentasi di pesisir.” ***


Editor : Ahmad Islamy Jamil

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network