Berkah Serangan Ulat Brayo, Peneliti: Kepompong Bisa Jadi Bahan Baku Sutra Berkualitas
DEMAK, iNews.id – Serangan ulat bulu di Kabupaten Demak, Jawa Tengah tengah dalam sepekan ini ternyata membawa berkah. Karena kepompong ulat brayo atau ulat pemakan daun pohon mangrove bisa menjadi bahan baku membuat sutra yang lebih bagus dari ulat sutra biasanya.
Minggu (14/3/2021) pagi, peneliti ekosistem tanaman, Budi Santoso melakukan survey keberadaan serangan ulat di hutan mangrove Desa Bedono, Kecamatan Sayung. Beberapa kepompong ulat dan ulat yang masih hidup dia kumpulkan untuk dianalisa.
Budi yang juga staf lapangan bagian hama dan penyakit tanaman Dinas Pertanian Kabupaten Demak menduga serangan ulat pemakan daun mangrove jenis brayo sudah menjadi siklus 1 tahunan.
Sebagai informasi, serangan ulat dimulai pada bulan Desember. Adanya migrasi ratusan ribu hingga jutaan kupu-kupu atau kaper yang datang di kawasan hutan mangrove di pesisir pantai utara (pantura) dan di bulan Desember sampai Januari, kupu-kupu pun mulai meletakkan telur.
Selanjutnya, di pertengahan Februari sampai Maret menjadi penetasan telur hingga banyak bermunculan ulat yang menyerang tanaman mangrove jenis brayo. Ulat brayo ini hanya memakan daun mangrove jenis brayo.
Karena unsur pada daun brayo yang disukai para ulat. Ulat brayo tidak mau makan daun mengrove jenis lain. Kondisi ini dapat terlihat di hutan mangrove hanya tanaman brayo yang terlihat kering, namun mangrove lain tetap hijau.
Tahun ini terjadi lonjakan ekstrem pada populasi ulat brayo karena ekosistemnya tidak seimbang dimana predatornya berkurang. Seperti banyaknya pemburuan burung pemakan serangga di daerah lain.berdampak pada berkurangnya burung yang bermigrasi di pesisir Pantura.
Tingginya populasi ulat brayo mempersingkat penyerangan di hutan manrove pesisir pantai utara kawasan Demak.
“Sebenarnya keberadaaan ulat sangat bermanfaat untuk perekonomian masyarakat karena kepompong ulat brayo bisa menjadi bahan baku untuk membuat kain sutra yang lebih bagus dari ulat sutra biasanya,” kata Budi.
Ia mencontohkan seperti produksi sutra di daerah Paso Maluku, Tungkep Sulawesi Selatan dan Manggarai NTT banyak menggunakan ulat brayo.
“Kendati tanaman brayo terlihat kering, namun pohonnya tidak mati. Bila daunnya telah habis dimakan ulat, namun setelah turun hujan daun akan lebih lebat bersemi kembali,” katanya.
Menurutnya, untuk mengendalikan ulat brayo hanya bisa dilakukan di kawasan pemukiman. Untuk kawasan hutan pesisir pantai utara membutuh alat yang diterbangkan.
“Untuk pengendalian ulat dapat dilakukan dengan skala mekanik, namun tidak memakai pestisida karena akan membunuh ekosistem lain,” ujarnya.
Editor: Ahmad Antoni