get app
inews
Aa Text
Read Next : Gempa Terkini 2 Menit yang Lalu Guncang Pesisir Barat, Cek Magnitudonya!

BMKG Tegaskan Cuaca Dingin dan Embun Beku Bukan karena Aphelion

Jumat, 06 Juli 2018 - 23:29:00 WIB
BMKG Tegaskan Cuaca Dingin dan Embun Beku Bukan karena Aphelion
Embun beku atau bun upas menyelimuti seluruh tanaman di dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, Jateng. (Foto: instagram)

JAKARTA, iNews.id – Masyarakat di beberapa daerah di Indonesia mulai dilanda cuaca dingin di luar dari hari biasanya. Fenomena cuaca dingin hingga embun beku itu dirasakan sejumlah warga, seperti Bandung, Sukabumi, Malang, Wonosobo, dan Banjarnegara, Jumat (6/7/2018). Masyarakat kemudian mengaitkan kejadian tersebut dengan fenomena Aphelion.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Mulyono R Prabowo mengatakan, cuaca dingin merupakan fenomena alamiah yang biasa terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau, yakni Juli hingga Agustus.

Berdasarkan pengamatan BMKG di seluruh wilayah Indonesia selama 1 hingga 5 Juli 2018, suhu udara kurang dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah yang seluruhnya memang berada di dataran tinggi atau kaki gunung, seperti Ruteng (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Pasuruan).

Suhu terendah tercatat di Ruteng (NTT) dengan nilai 12,0 derajat Celcius pada 4 Juli 2018. Sementara itu, untuk wilayah lain di Indonesia selisih suhu terendah selama awal Juli 2018 ini terhadap suhu terendah rata-rata selama 30 hari terakhir ini tidak begitu besar.

“Sebenarnya fenomena Aphelion ini adalah fenomena astronomis yang terjadi setahun sekali pada kisaran bulan Juli. Sementara itu, pada waktu yang sama, secara umum wilayah Indonesia berada pada periode musim kemarau. Hal ini menyebabkan seolah aphelion memiliki dampak yang ekstrem terhadap penurunan suhu di Indonesia,” papar Mulyono dalam rilisnya yang diterima iNews.id, Jumat (6/7/2018).

Padahal faktanya, lanjut Mulyono, penurunan suhu belakangan ini lebih dominan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit. Hal ini terlihat dari tutupan awan yang tidak signifikan selama beberapa hari terakhir.

Menurut Mulyono, secara fisis, uap air dan air merupakan zat yang cukup efektif dalam menyimpan energi panas. Sehingga, rendahnya kandungan uap di atmosfer ini menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan. “Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan,” katanya.

Selain itu, kata Mulyono, pada Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia semakin signifikan, sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal mengatakan, fenomena suhu dingin malam hari dan embun beku di lereng pegunungan Dieng lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung.

“Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan,” katanya.

Selain itu, kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dg rendahnya kelembaban udara. Pada kondisi puncak kemarau saat ini di Jawa, beberapa tempat yang berada pada ketinggian, terutama di daerah pegunungan, diindikasikan akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celcius.

“Kondisi ini disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan, lebih lebih pada saat cuaca cerah tidak tertutup awan atau hujan,” paparnya.

Uap air di udara akan mengalami kondensasi pada malam hari dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput segera membeku karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau nol derajat. “Di Indonesia, beberapa tempat pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua,” kata Herizal.

Kejadian tersebut menunjukkan bahwa fenomena Aphelion tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan suhu di Indonesia, sehingga diharapkan masyarakat tidak perlu khawatir.

Editor: Kastolani Marzuki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut