Cerita Warga Lereng Merapi 3 Kali Dikejar Wedhus Gembel, yang Terakhir Paling Ngeri

SLEMAN, iNews.id – Raut wajah Sardi (50), warga Plosorejo, Kabupaten Sleman, tampak berkaca-kaca saat menceritakan perjuangannya menyelamatkan diri dari erupsi Gunung Merapi. Ya, letusan Gunung Merapi masih membawa bekas dan belum sepenuhnya hilang dari ingatannya.
Sardi menyebut telah mengalami kejadian letusan gunung aktif setinggi 2.930 mdpl itu sebanyak tiga kali, yakni pada tahun 1994, 2006 dan 2010. Di antara tiga kali kejadian tersebut, peristiwa erupsi Merapi pada tahun 2010 diakuinya menjadi bencana yang paling mengerikan.
Waktu itu Merapi mengeluarkan suara gemuruh disertai asap membubung tinggi hingga 5.500 meter ke udara akibat letusan freatik. Rumahnya yang berada di Kaliadem bak kampung mati karena terpendam guguran erupsi Merapi. Kini Sardi tinggal di Plosorejo, sebelah barat kawasan Merapi Golf.
“Pada saat erupsi (Gunung Merapi) 1994, waktu itu saya kerja di Yogya dapat berita di wilayah Pakem sudah banyak pengungsi. Warga dari kawasan Kaliurang juga berlarian turun sampai di Pakem. Letusan dari sini (Kaliadem), tapi tahu-tahu ada angin dan arah angin ke utara hingga jatuh ke wilayah Turgo,” kata Sardi saat ditemui iNews.id di kawasan Kaliadem, Sleman, Sabtu (14/11/2020).
“Sedangkan pada kejadian erupsi 2006. Waktu itu kejadian berawal suara gemuruh. Posisi saya berada 2 Km dari rumah dan dari Merapi 9,8 Km. Sehingga saya selamat, namun membawa korban tetangga kampung dan relawan. Saya melihat ada evakuasi di banker. Tapi karena panasnya pasir material yang nimbun sehingga sulit untuk mengevakuasi mereka yang terjebak di dalam bunker. Yang satu meninggal di dalam banker, satunya di luar,” ujarnya.
Sementara saat erupsi tahun 2010, Gunung Merapi meluncurkan awan panas atau dalam bahasa lokal warga disebut wedhus gembel, dia tak berpikir dampaknya begitu dahsyat yakni menimbun kampungnya (kaliadem).
“Posisi saya saat itu di rumah biasa aktivitas, nggak berpikir letusan Merapi bakal nimbun kampung seperti ni. Dibanding tahun-tahun sebelumnya erupsi Merapi tahun 2010 memang lebih parah. Suara keras bergemuruh membuat kaca jendela bergetar tanpa henti, waktu itu kejadian malam jumat, “ ujar Sardi.
Saat bersamaan, dirinya juga mendapat kabar di Umbul Martani juga ada letupan besar, ternyata benar.
“Saya nggak bisa tidur, tahu-tahu jam 12 malam warga dari atas sudah turun dalam kondisi hujan pasir turun. Kemudian paginya ada warga yang naik, ternyata kampung sudah habis. Esoknya saya naik ternyata memang terpendam,” ujarnya.
Dari rentetan erupsi Merapi yang dialaminya, dia mengamati jika kejadian-kejadian letusan Gunung Merapi terjadi setiap akhir tahun. Seperti halnya di tahun 2020, BPPTG telah menaikkan status Gunung Merapi dari level II (Waspada) menjadi level III (Siaga).
“Saat ini Merapi Siaga, kita hanya akan patuh pada saran dari Pemerintah. Ada instruksi turun ya turun, tak bisa abaikan. Yang sudah-sudah jadi pelajaran. Harapan saya warga cepat menerima informasi atau himbaun,” katanya.
Editor: Ahmad Antoni