Ini Catatan Sejarah Gempa Kuat dan Merusak di Salatiga, Ambarawa dan Banyubiru
SEMARANG, iNews.id – Masyarakat di wilayah Kota Salatiga, Ambarawa Kabupaten Semarang dan sekitarnya hingga saat ini masih diselimuti rasa khawatir. Pasalnya, rentetan gempa susulan sejak Sabtu (23/10) hingga Minggu (24/10/2021) masih terjadi.
Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, dalam catatan sejarah gempa kuat dan merusak di wilayah Salatiga, Ambarawa dan Banyubiru pernah mengalami beberapa kali gempa signifikan, antara lain:
1. Gempa Semarang, Salatiga, dan Ambarawa pada 24 September 1849.
2. Gempa Banyubiru, Ambarawa, dan Ungaran pada 17 Juli 1865 dimana gempa ini menyebabkan rumah tembok retak.
3. Gempa Semarang, Ungaran, dan Ambarawa terjadi pada 22 Oktober 1865. Pada keesokan harinya pada 23 Oktober 1865 guncangan gempa kembali terjadi diikuti gemuruh.
4. Gempa Ungaran dan Ambarawa pada 22 April 1866, dimana gempa ini menyebabkan kerusakan bangunan rumah tembok.
5. Gempa Salatiga, Ambarawa dan Ungaran terjadi pada 10 Oktober 1872 dimana guncangan gempa ini menyebabkan kerusakan bangunan rumah tembok.
6. Gempa merusak terakhir adalah peristiwa Gempa Sumogawe, Getasan magnitudo M 2,7 pada 17 Februari 2014 dimana gempa ini merusak beberapa rumah diikuti suara dentuman keras.
“Jika aktivitas gempa kecil ini terus terjadi di Banyubiru, Ambarawa, Salatiga terus berlanjut maka dapat mengarah pada aktivitas swarm,” kata Daryono dalam siaran pers, Minggu (24/10/2021).
Dia mengatakan hal ini adalah bentuk gelombang gempa (waveform) yang dicatat oleh stasiun seismograf Semarang yang mencatat gempa Ambarawa M3,0. Tampak gelombang S-nya sangat jelas dan nyata menunjukkan ada pergeseran tiba-tiba dua blok batuan (slip). Ini bukti gempa yg terjadi adalah gempa tektonik.
“Semoga rentetan aktivitas gempa ini adalah swarm yang tidak muncul gempa besarnya. Dari segi sebaran temporal magnitudo-nya sudah bisa dikategorikan swarm,” katanya.
Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa dengan magnitudo relatif kecil dengan frekuensi kejadiannya sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama di wilayah sangat lokal.
“Jika gempa pada umumnya terjadi karena aktivitas tektonik, gempa swarm justru terjadi karena proses kegunungapian (vulkanik). Gempa swarm yang dihasilkan karena aktivitas tektonik murni hanya sedikit,” ujarnya.
Sudaryono menjelaskan, gempa swarm tidak hanya berkaitan degan kawasan gunung api. Beberapa laporan menunjukkan bahwa aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan non-vulkanis. Swarm juga dapat terjadi di kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh yang terbangun medan tegangan, sehingga mudah terjadi retakan (fractures).
Editor: Ahmad Antoni