get app
inews
Aa Text
Read Next : Cetak Prajurit Tangguh, Akmil Buka Latihan Kader Pelatih Pencak Silat Militer 2025

Kisah Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S PKI

Senin, 02 Oktober 2023 - 15:39:00 WIB
Kisah Jenderal Ahmad Yani, Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S PKI
Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani dikenal memiliki kecerdasan serta kemampuan yang mumpuni sehingga diakui oleh komandannya dari Jepang. (Foto: Instagram Revolusi-1965)

JAKARTA, iNews.id - Mengenal kisah Jenderal Ahmad Yani, salah satu pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S PKI menarik diulas. Peristiwa G30S PKI 1965 ini berdampak luas terhadap dinamika politik dan sosial bangsa Indonesia. 

Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani menjadi korban kebiadaban PKI bersama korban lainnnya yakni Mayjen R Soeprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen S Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.

Selain itu, nama Ahmad Yani kerap kali dijumpai sebagai nama-nama jalan, masjid, nama Universitas (Universitas Jenderal Achmad Yani/Unjani-Cimahi), hingga nama kapal perang KRI Ahmad Yani 351. Berikuti ini ulasan lengkapnya mengenai Jenderal Ahmad Yani.

Kisah Jenderal Ahmad Yani 

Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 19 Juni 1922. Ahmad Yani memiliki dua orang adik perempuan bernama Asmi dan Asinah. Setidaknya hidup keluarga Ahmad Yani lumayan berkecukupan dengan gaji ayahnya saat itu sekitar 7 ringgit lantaran menjadi sopir pribadi dari bos tebu.

Keluarganya bekerja di sebuah pabrik gula milik Belanda, lalu pada tahun 1927 Ahmad Yani pindah bersama keluarganya ke Batavia (Kini menjadi Jakarta). Di Batavia, ia mengenyam pendidikan dasar dan menengah.

Pada tahun 1940, Ahmad Yani meninggalkan sekolah menengahnya untuk menjalani pendidikan wajib militer sebagai tentara Hindia Belanda pada masa itu. 

Sebagai calon perwira, ia mengambil pendidikan militer pada bidang topografi militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikannya tersebut terputus karena invasi Jepang pada tahun 1942. Di tahun yang sama, Ahmad Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa Tengah.

Kemudian pada tahun 1943, ia bergabung menjadi anggota PETA (Pembela Tanah Air) yang dibentuk oleh penguasa Jepang saat itu dan menjalani pelatihan lanjutan di Magelang. 

Setelah menyelesaikan latihannya tersebut, Ahmad Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton PETA dan menerima pendidikan di Bogor, Jawa Barat. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur tentara.

Setelah Indonesia merdeka, Jenderal Ahmad Yani mulai bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) atau yang kini dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Setelah terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan TKR Purwokerto. Tahun 1948 dirinya ikut beroperasi dalam menumpas pemberontakan PKI Muso di Madiun. Pada Agresi Militer Belanda II dia diangkat sebagai Komandan Wehrkreise II daerah Kedu.

Selain itu, ia juga melawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII ) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Usai berhasil melawan DI/TII tersebut, Ahmad Yani kembali ke Staf Angkatan Darat. 

Pada tahun 1955, atas perintah presiden Ahmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, USA selama sembilan bulan.

Pada tahun 1958, ia diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). 

Selain di PRRI, Jenderal Ahmad Yani juga turut andil dalam perebutan Irian Barat, hingga membuat Presiden Soekarno senang akan keberadaan dirinya saat itu. 

Selanjutnya di Tahun 1962, dirinya diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Ahmad Yani difitnah dan dituduh ingin menjatuhkan Presiden Soekarno oleh PKI.

Akhir Hayat Jenderal Ahmad Yani

Dikutip dari Stekom, Pada 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuharhary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. 

Sekitar jam 9 malam pada tanggal 30 September 1965, terdapat sejumlah panggilan telepon ke rumah pada interval, panggilan tersebut terus menerus hingga sekitar pukul satu dini hari dan Ahmad Yani mulai memiliki firasat buruk malam itu. 

Saat itu, Ahmad Yani menghabiskan malamnya dengan beberapa pertemuan, pada pukul 7 malam ia menerima seorang kolonel dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Jenderal Basuki Rahmat, komandan divisi di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. 

Basuki datang ke Jakarta untuk melaporkan kepada Ahmad Yani karena keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa Timur. Setelah memuji laporannya, Jenderal Ahmad Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporan tersebut.

Akan tetapi, saat itu para penculik datang ke rumah Jenderal Ahmad Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden Soekarno. Lalu ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. 

Namun, penculik menolak dan ia menjadi marah, kemudian menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba untuk menutup pintu depan rumahnya. Lalu para prajurit tersebut menculik Jenderal Ahmad Yani untuk dieksekusi. 

Pada hari kejadian, Ahmad Yani ditembak peluru panas di depan kamar tidurnya pada 1 Oktober 1965, dini hari. Jenazahnya ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan

Demikian penjelasan mengenai kisah Jenderal Ahmad Yani, pahlawan revolusi yang gugur dalam Peristiwa G30S PKI, dikutip dari berbagai sumber.

Editor: Ahmad Antoni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut