Kisah Profesor Sedyatmo, Orang Indonesia di Balik Terciptanya Fondasi Cakar Ayam
JAKARTA, iNews.id – Kisah Profesor Sedyatmo (Sedijatmo atau Sediyatmo), salah satu orang Indonesia berpengaruh yang memiliki karya dan gagasan inovatif yang diakui dunia. Dia adalah seorang penemu sistem fondasi konstruksi cakar ayam.
Penemuannya tersebut banyak diaplikasikan sebagai solusi fondasi di lahan lunak. Konstruksi cakar ayam yang diperkenalkan Prof Sedyatmo Atmohoedojo pada 1962, telah dikenal di banyak negara, bahkan mendapat pengakuan paten internasional di 11 negara.
Fondasi cakar ayam tersusun dari pelat beton bertulang tipis yang didukung buis-buis beton bertulang yang dipasang vertikal dan disatukan secara monolit dengan pelat beton pada jarak 200-250 cm. Tebal pelat beton antara 10-20 cm, sedang pipa buis beton bertulang berdiameter 120 cm dengan ketebalan sekitar 8 cm dan panjang 150-250 cm.
Dilansir dari laman Institut Teknologi PLN, Sedyatmo dilahirkan di Desa Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada 24 Oktober 1909 sebagai putra ketiga Raden Mas Panji Hatmo Hudoyo (cucu Mangkunegoro III-Surakarta) dengan R. Ayu. Sarsani Mangunkusumo.
Ketika beranjak dewasa, kemudian Sedyatmo menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), pendidikan setingkat SMP di Surakarta. Selama belajar di MULO, ia bergabung dengan kelompok kepanduan (sekarang pramuka). Di kepanduan ia mendapatkan latihan jasmani dan rohani termasuk pembinaan watak, keterampilan, kemanusiaan, kemasyarakatan dan hal penting lain yang kemudian ikut membentuk watak dan kepribadiannya.
Memiliki bekal kemampuan bermain gitar yang mengesankan, ia juga kemudian bergabung dengan kelompok musik. Ketertarikannya pada dunia seni itu tidak lantas datang begitu saja. Sedari kecil ia sangat menyukai karya-karya seni tradisional terutama Gending Jawa dan Wayang. Bima dan Gatotkaca adalah tokoh idolanya.
Maka dari kedua tokoh hebat tersebut, kemudian Sedyatmo memupuk sifat keberanian, kegigihan, semangat perjuangan, ketabahan, kesediaan berkorban, pengabdian, cita–cita, kecintaan kepada bangsa dan tanah air serta keimanan kepada Tuhan.
Setelah menamatkan pendidikan di MULO, ia melanjutkan pendidikan di Algemene Middel-bare School (AMS), pendidikan setingkat SMA di Yogyakarta. Ketika menempuh pendidikan di AMS ia sering menjadi juara di arena olahraga.
Namun ia tidak selalu sukses mendapatkan hal yang diinginkannya. Pada 1930 saat Pemerintah Belanda mengumumkan pemberian beasiswa kepada pelajar–pelajar Indonesia untuk belajar di Technische Hogeschool de Bandoeng (THS) ia gagal. Meskipun telah belajar ekstra keras ia tak lolos seleksi.
Akan tetapi hal buruk tak selamanya menimpa dirinya, ia direkomendasikan oleh salah seorang gurunya. Di mana gurunya itu meyakinkan rektor THS untuk menerima Sedyatmo, karena anak itu memiliki kemampuan yang luar biasa, meskipun nilai yang dimilikinya di bawah rata-rata.
Pernyataan dan jaminan dari seorang guru AMS Yogyakarta inilah yang kemudian mengantarnya masuk THS yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedyatmo masuk di THS bersama dengan Abdul Mutholib Danuningrat, putra Bupati Purworejo, Danunegoro.
Setelah empat tahun menempuh pendidikan, Sedyatmo meraih gelar Insinyur pada 1934. Setelah lulus, ia memilih kembali ke Mangkunegaran dan bekerja sebagai insinyur perencanaan di berbagai instansi pemerintahan. Dalam pekerjaannya itu ia dikenal gigih dan punya disiplin yang tinggi.
Tak hanya itu saja, Sedyatmo juga kaya akan gagasan-gagasan inovatif. Lantaran etos kerjanya yang tinggi serta dikenal banyak akalnya, Sedyatmo mendapat julukan “Si Kancil”.
Selanjutnya dalam perjalanan karier dan pengabdiannya sebagai Insinyur, bangsa Indonesia kemudian mencatat kegemilangan karyanya melalui Konstruksi Cakar Ayam yang digagasnya pada tahun 1962.
Senat ITB, almamaternya kemudian juga menganugerahinya gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu pengetahuan Teknik atas jasa-jasanya sebagai insinyur. Dengan promotor Prof. Ir. Soetedjo, gelar tersebut disematkan pada Lustrum ketiga (Dies Natalis ke-15) ITB, tanggal 2 Maret 1974.
Pada 1942, Sedyatmo menikah dengan Raden Ajeng Hoesniah Pardani, putri sulung Mangkunagoro VII. Dari pernikahan itulah ia dikaruniai beberapa orang putri yaitu Pardiatni Hoesniah Riantini, Latifah Amiati, Amini, Tedjaswati, Krisnawati.
Putra terbaik Karangpandan, peraih Bintang Mahaputra Kelas I dari Pemerintah Indonesia ini berpulang di Jakarta pada 15 Juli 1984. Untuk mengenang jasa dan pengabdiannya, Pemerintah mengabadikan namanya sebagai nama jalan bebas hambatan menuju Bandara Soekarno-Hatta.
Editor: Ahmad Antoni