Marak Calon Tunggal di Pilkada 2020, Pengamat : Merusak Kualitas Demokrasi
SOLO, iNews.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 telah berakhir. Pelaksanaan pilkada tahun ini diselenggarakan dengan penerapan protokol kesehatan.
Selain kekhawatiran akan munculnya klaster Pilkada, maraknya calon tunggal dan dinasti politik juga menjadi perhatian. Pasalnya pada pesta demokrasi tahun ini, jumlah calon tunggal mengalami peningkatan.
Pengamat politik asal Solo, RR Mayyasari Gondhodiwiryo menilai bahwa kondisi itu membuktikan birokrasi demokrasi dan kontestasi sangat carut marut. "Maraknya calon tunggal di Pilkada 2020 dan isu politik dinasti ini yang merusak kualitas nilai demokrasi.Dikarenakan kurangnya pemahaman etika politik para politisi negeri,” kata Mayyasari, Jumat (11/12/2020).
Menurut dia, melihat kondisi yang baru saja terjadi di Pilkada kemarin menandakan bahwa tak hanya masyarakat saja yang butuh pendidikan politik. Tapi juga politikus yang ternyata jauh lebih membutuhkan pendidikan politik.
"Tidak hanya rakyat yang butuh pendidikan politik, akan tetapi politisi pun jauh lebih membutuhkan pendidikan politik. Karena masih banyak politisi yang tidak memahami etika politik dan etika elektoral dalam bernegara," katanya.
Maraknya calon tunggal pada Pilkada 2020 ini, kata dia, hendaknya menjadi tanggung jawab moral tersendiri bagi partai. Di mana partai sebagai saluran utama pengkaderan pemimpin sangat bertanggungjawab terhadap generasi partai.
"Partai harus mempersiapkan produktifitas kaderisasi dengan selektif berbasis integritas untuk menyiapkan kontestasi yang sehat," ujarnya
"Partai harus bisa keluar dari "tekanan besar" kepentingan kepentingan internal partai, bukan justru bersikap pragmatis dan menghindari kontestasi dengan munculnya politik dinasti atau politik aji mumpung," ujarnya.
Melihat semakin kronisnya kualitas pemimpin daerah dengan masih banyaknya yang tersangkut masalah hukum terutama korupsi, menandakan politik dinasti mengambil peranan signifikan dalam berkontribusi merusak nilai dan tatanan demokrasi.
"Calon tunggal dan politik dinasti memang bukan sesuatu yang melanggar hukum. Tapi jelas melanggar etika politik dan etika elektoral. Sehingga ke depan sebagai pemimpin politisi dan negarawan sejati seharusnya wajib mengerti dan memiliki etika berpolitik dan bernegara," ujarnya.
Editor: Ahmad Antoni