get app
inews
Aa Text
Read Next : Hujan Ekstrem Bakal Landa Jateng Sepekan ke Depan, Ini Imbauan BMKG

Memprihatinkan, Jutaan Petani Gurem di Jateng Hanya Berpenghasilan Rp380.000 per Bulan

Rabu, 18 Agustus 2021 - 18:43:00 WIB
Memprihatinkan, Jutaan Petani Gurem di Jateng Hanya Berpenghasilan Rp380.000 per Bulan
Pendapatan petani di Jateng hanya Rp380.000 per bulannya, jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). (ilustrasi/foto Dok Sindo)

SEMARANG, iNews.id – Nasib petani gurem di Jawa Tengah (Jateng) masih sangat memprihatinkan. Pasalnya, regulasi pertanian belum menyejahterakan petani. 

Sesuai hitung-hitungan, pendapatan petani di Jateng hanya Rp380.000 per bulannya dan jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).  Angka itu merupakan pendapatan petani gurem di Jateng yang jumlahnya sangat banyak. Di Jateng ada sekitar 2,9 juta petani dan separuh di antaranya adalah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang hanya memiliki lahan di bawah 2.000 meter persegi. 

Ketua Komisi B DPRD Jateng, Sumanto mengatakan rata-rata hasil panen per hektare sawah sekitar 6 ton gabah. Saat dijual terjadi penyusutan sekitar 18 persen. 

Sesuai HPP, harga gabah Rp4.200. Namun yang terjadi pada saat panen raya Juni lalu, harga jual gabah hanya Rp3.400/kg. "Jika dikalikan, maka pendapatan petani per bulan hanya sekitar Rp380.000. Harga rendah seperti itu, padahal UMK tiap tahun kan naik. Petani ini tetap bisa bertahan karena rata-rata memiliki sampingan seperti ternak atau tanaman lain," kata Sumanto, Rabu (18/8/2021). 

Dia  menyentil pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan petani. Bahkan, semenjak zaman sebelum penjajahan, zaman penjajahan hingga sekarang ini tak ada petani yang sejahtera. Jika pun ada, sangat kecil persentasenya. Hal itu dicerminkan dari kebijakan pemerintah dan harga gabah. 

Kondisi itu ditambah dengan kesulitan petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Sumanto meminta Pemerintah Provinsi dan Pusat membenahi persoalan pupuk bersubsidi tersebut. Mulai dari data kebutuhan, distribusi, harga di pasaran hingga pupuk ini benar-benar sampai di tangan petani pengguna. 

"Dari dulu, yang namanya barang bersubsidi pasti banyak masalah. Pupuk, minyak atau lainnya. Orang yang bermain pasti banyak. Kemarin dibilang (pupuk bersubsidi), oh sudah cukup. Kenyataanya tidak," katanya.

Dia  mengatakan persoalan pupuk ini juga terjadi pada masa tanam kedua atau MT II pada beberapa waktu lalu. Saat itu, terdapat kekurangan pupuk bersubsidi di lapangan. Ada desa yang kebutuhan pupuk bersubsidinya 3 ton, namun hanya dapat 2 ton. Maka 1 ton kebutuhan mereka harus didapatkan dari pupuk nonsubsidi. padahal harganya lebih mahal 

Politikus PDI Perjuangan ini menilai ada ketidakharmonisan antara apa yang terjadi di lapangan dengan data yang dimiliki oleh pemerintah. "Kalau subsidi ini terus dilakukan dan tata kelola tak benar maka persoalan akan terus berulang. Pupuk langka, susah dicari. Padahal petani itu butuh pupuk tepat waktu," ujarnya. 

Sebagai solusi kesejahteraan petani, maka Sumanto meminta subsidi pupuk dicabut. Anggaran subsidi itu dialihkan untuk menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah. Semula Rp4.200 menjadi Rp 5.500.

Editor: Ahmad Antoni

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut