SEMARANG, iNews.id – Nasib petani gurem di Jawa Tengah (Jateng) masih sangat memprihatinkan. Pasalnya, regulasi pertanian belum menyejahterakan petani.
Sesuai hitung-hitungan, pendapatan petani di Jateng hanya Rp380.000 per bulannya dan jauh dari standar Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Angka itu merupakan pendapatan petani gurem di Jateng yang jumlahnya sangat banyak. Di Jateng ada sekitar 2,9 juta petani dan separuh di antaranya adalah petani gurem. Petani gurem adalah petani yang hanya memiliki lahan di bawah 2.000 meter persegi.
Pasien Covid-19 Isolasi Terpusat di Donohudan Terus Berkurang, Kapolda Jateng: Terima Kasih
Ketua Komisi B DPRD Jateng, Sumanto mengatakan rata-rata hasil panen per hektare sawah sekitar 6 ton gabah. Saat dijual terjadi penyusutan sekitar 18 persen.
Sesuai HPP, harga gabah Rp4.200. Namun yang terjadi pada saat panen raya Juni lalu, harga jual gabah hanya Rp3.400/kg. "Jika dikalikan, maka pendapatan petani per bulan hanya sekitar Rp380.000. Harga rendah seperti itu, padahal UMK tiap tahun kan naik. Petani ini tetap bisa bertahan karena rata-rata memiliki sampingan seperti ternak atau tanaman lain," kata Sumanto, Rabu (18/8/2021).
Terima Remisi HUT RI, 138 Napi di Jateng Langsung Bebas
Dia menyentil pemerintah untuk memperhatikan kesejahteraan petani. Bahkan, semenjak zaman sebelum penjajahan, zaman penjajahan hingga sekarang ini tak ada petani yang sejahtera. Jika pun ada, sangat kecil persentasenya. Hal itu dicerminkan dari kebijakan pemerintah dan harga gabah.
KONI Jateng Janji Usulkan Porprov Tetap Digelar Tahun 2022
Kondisi itu ditambah dengan kesulitan petani mendapatkan pupuk bersubsidi. Sumanto meminta Pemerintah Provinsi dan Pusat membenahi persoalan pupuk bersubsidi tersebut. Mulai dari data kebutuhan, distribusi, harga di pasaran hingga pupuk ini benar-benar sampai di tangan petani pengguna.
"Dari dulu, yang namanya barang bersubsidi pasti banyak masalah. Pupuk, minyak atau lainnya. Orang yang bermain pasti banyak. Kemarin dibilang (pupuk bersubsidi), oh sudah cukup. Kenyataanya tidak," katanya.
Kondisi Pandemi di Jateng Membaik, Hanya Daerah Ini yang Masih Zona Merah
Dia mengatakan persoalan pupuk ini juga terjadi pada masa tanam kedua atau MT II pada beberapa waktu lalu. Saat itu, terdapat kekurangan pupuk bersubsidi di lapangan. Ada desa yang kebutuhan pupuk bersubsidinya 3 ton, namun hanya dapat 2 ton. Maka 1 ton kebutuhan mereka harus didapatkan dari pupuk nonsubsidi. padahal harganya lebih mahal
Politikus PDI Perjuangan ini menilai ada ketidakharmonisan antara apa yang terjadi di lapangan dengan data yang dimiliki oleh pemerintah. "Kalau subsidi ini terus dilakukan dan tata kelola tak benar maka persoalan akan terus berulang. Pupuk langka, susah dicari. Padahal petani itu butuh pupuk tepat waktu," ujarnya.
Sebagai solusi kesejahteraan petani, maka Sumanto meminta subsidi pupuk dicabut. Anggaran subsidi itu dialihkan untuk menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah. Semula Rp4.200 menjadi Rp 5.500.
Editor: Ahmad Antoni