Mengenal Hanacaraka, Sejarah dan Makna Filosofisnya
SEMARANG, iNews.id – Mengenal aksara hanacaraka perlu memahami sejarah hingga makna filosofisnya. Aksara hanacaraka mengalami beragam perubahan bentuk dan komposisi hingga seperti saat ini.
Hanacaraka merupakan aksara jenis abugida turunan dari aksara Brahmi. Dari segi bentuknya, aksara hanacaraka punya kemiripan dengan aksara Sunda dan Bali.
Untuk aksara Jawa merupakan varian modern dari aksara Kawi, salah satu aksara Brahmi hasil perkembangan aksara Pallawa yang berkembang di Jawa.
Dihimpun dari berbagai sumber, pada masa berjayanya kerajaan-kerajaan Islam, tepatnya dari zaman Kesultanan Demak hingga Pajang, teks dari masa tersebut diwakili dengan serat Suluk Wijil dan serat Ajisaka.
Pada masa itu diperkenalkan urutan pangram hanacaraka untuk memudahkan pengikatan 20 konsonan yang digunakan dalam bahasa Jawa. Urutan tersebut terdiri dari 4 baris dengan tiap baros terdiri dari 5 aksara yang menyerupai puisi.
Namun, ada pula cerita asal-usul aksara hanacaraka menurut cerita legenda yang kita kenal dengan kisah Ajisaka.Konon, menurut legenda, aksara hanacaraka terlahir dari cerita pemuda sakti bernama Ajisaka yang pergi mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan.
Kerajaan tersebut memiliki seorang raja bernama Dewata Cengkar yang amat rakus dan senang memakan daging manusia. Rakyatnya banyak yang ketakutan dengan kebiasaan rajanya tersebut. Demi menghentikan kebiasaan sang raja, Ajisaka pun bertolak ke sana.
Ajisaka memiliki dua orang abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada. Ajisaka pergi mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan dan mengajak Dora untuk menemaninya. Sementara Sembada diperintah untuk tetap tinggal di Pulau Majethi karena harus menjaga keris pusaka milik Ajisaka agar tidak jatuh ke tangan orang lain selain dirinya.
Sesampainya di Kerajaan Medhangkamulan, Ajisaka segera menghadap Prabu Dewata Cengkar untuk meminta sebidang tanah seukuran kain surban kepalanya. Permintaannya ini adalah sebagai syarat bahwa Ajisaka bersedia menjadi santapan sang Raja asalkan ia mendapatkan tanah yang ia mau.
Akhirnya, Prabu Dewata Cengkat mengamini permohonan Ajisaka. Ia mengukur tanah menggunakan kain surban Ajisaka, namun tak disangka kain surban tersebut semakin lama semakin meluas hingga membuat Prabu Dewata Cengkar mundur dan terus mundur sampai mendekati jurang pantai selatan.
Sayang sekali Prabu Dewata Cengkar tidak dapat menyelamatkan diri dan mati terjatuh dari jurang. Sejak saat itu Ajisaka diangkat menjadi raja di Kerajaan Medhangkamulan.
Ajisaka pun teringat dengan pusakanya yang ditinggal di Pulau Majethi. Ia pun mengutus Dora untuk mengambilnya dari Sembada. Sesampainya di Pulau Majethi, Dora segera meminta pusaka Ajisaka yang dijaga oleh Sembada, namun rekannya itu tidak mau memberikan pusaka tersebut karena teringat dengan perintah Ajisaka. Sementara itu, Dora juga bersikukuh bahwa apa yang dilakukannya adalah perintah dari Ajisaka. Merekapun berdebat dan bergelut. Sayang sekali, keduanya akhirnya tewas.
Mendengar kedua abdinya tewas, Ajisaka pun menyesali apa yang telah dilakukannya. Untuk mengenang, ia melantunkan pantun hanacaraka yang memiliki makna sebagai berikut:
Ha Na Ca Ra Ka
Ada sebuah kisah
Da Ta Sa Wa La
Terjadi sebuah pertarungan
Pa Dha Ja Ya Nya
Mereka sama-sama sakti
Ma Ga Ba Tha Nga
Dan akhirnya semuanya mati
Aksara hanacaraka memiliki makna filosofi yang bijaksana. Berikut makna filosofisnya.
Ha-Na-Ca-Ra-Ka artinya adalah ”utusan” yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Hal ini menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia.
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan "data" atau saatnya dipanggil tidak boleh "sawala" atau mengelak. Dalam hidup ini manusia harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya menunjukkan menyatunya zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang diberi hidup (makhluk). Makna filosofisnya, setiap batin manusia pasti sesuai dengan apa yang diperbuatnya.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan . Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.
Editor: Ahmad Antoni