Menikmati Hangatnya Angkringan di Atas Awan Gunung Merbabu
SEMARANG, iNews.id – Keberadaan Angkringan di Cuntel Kopeng Kabupaten Semarang ini sungguh tak biasa. Selain diselimuti hawa dingin hingga 12 derajat Celsius di ketinggian 1.830 mdpl Gunung Merbabu, pengunjung mendapat suguhan indahnya hamparan awan.
Meski tubuh menggigil, pengunjung tak perlu khawatir karena tetap bisa menikmati beragam makanan khas angkringan yang disajikan hangat. Aneka sate, gorengan, tahu dan tempe bacem dijamin bakal menggoyang lidah sebagai teman untuk menyeruput secangkir kopi panas.
Bagi yang menginginkan makanan agak berat tersedia nasi goreng dan mi instan. Menu paling diburu adalah mi instan panas yang bisa dipesan berkuah atau goreng karena dipercaya bisa melawan udara dingin pegunungan.
Pusat kuliner yang digagas sejumlah anak muda ini mengusung konsep alam terbuka. Sejak pagi buta/ mereka berbagi tugas. Sebagian menggelar tenda-tenda camping dan tikar untuk makan pengunjung. Jarak antartenda dua meter sehingga tak akan terjadi kerumunan, untuk mencegah penyebaran Covid-19.
“Sejak pagi-pagi sekali kita sudah bergerak. Yang bertugas di angkringan sini menata tenda, meja, dan tikar. Jadi pengunjung nanti makannya di tenda masing-masing. Dengan cara ini, pengunjung tak berkumpul menjadi satu,” ujar pengelola Pinus Cuntel, Budi Susilo, Minggu (31/10/2021).
Selain itu, ada yang bertugas mengambil berbagai makanan dan jajanan, dan tabung gas elpiji 3 kilogram dari kawasan Kopeng. Semua makanan yang telah matang tersebut, diangkut menggunakan mobil tua untuk merayapi jalan menanjak dan berliku.
“Perjalanan dari bawah (Kopeng) sampai sini sekira 30 menit. Nanti setelah tiba langsung kita tata, istilah Jawa-nya adalah buka dasaran. Semua kita tata di atas meja, termasuk alat pemanggang untuk memanasi sate-satean dan gorengan,” katanya.
Dia menceritakan, proses menghangatkan berbagai makanan sebelumnya sempat terkendala. Saat itu dia bersama rekan-rekannya memilih arang untuk memanggang aneka sate dan gorengan. Namun, angin kerap bertiup kencang sehingga cara tersebut tak efektif.
“Juga boros karena arang cepat habis sebelum makanan ini benar-benar hangat. Makanya kita berpikir lagi bagaimana cara agar makanan bisa disajikan hangat, tampilannya bagus, dan tidak boros. Akhirnya kita menggunakan gas elpiji 3 kilogram,” terangnya.
“Selain ukurannya kecil mungil, tabung ini juga mudah dibawa dari bawah (Kopeng) ke sini. Dan gas ini juga kita manfaatkan untuk pemanas air kamar mandi. Biar para pengunjung nyaman, bisa ke toilet tak perlu menggigil kedinginan,” imbuh dia.
Menurutnya, ide awal membuat lokasi kuliner yang kerap disebut angkringan di atas awan itu berawal dari pandemi Covid-19. Dia bersama anak-anak muda lainnya yang sempat terpuruk, terpacu untuk menggerakkan roda perekonomian.
“Jadi kami berpikir bagaimana membikin sesuatu yang beda dari lainnya. Akhirnya kita bikin angkringan, bukan sekadar angkringan tapi juga mengikuti anjuran pemerintah, yaitu physical distancing. Makanya bikin tenda-tenda yang nanti setiap pengunjung atau keluarga makannya terpisah, tidak berkerumun,” jelasnya.
Menggunakan sarana publikasi media sosial, angkringan tersebut menjadi viral. Pengunjung berdatangan dari berbagai daerah untuk merasakan sensasi makanan di atas awan. Apalagi, pada masa pandemi banyak orang yang memilih lokasi alam terbuka untuk berwisata.
“Kita tahunya dari Instagram, ada tempat kuliner baru sekaligus bisa wisata, terkenalnya Angkringan di Atas Awan. Di sini ada sensasi beda, meski menu sebenarnya tak jauh beda dari angkringan lainnya. Tapi ketika kita makan sambil melihat hamparan awan dan deretan gunung-gunung, itu sesuatu banget,” kata seorang pengunjung, Iren Oktaviana.
Gadis berkerudung yang datang bersama kekasihnya itu rela menempuh perjalanan panjang dari Mapagan Ungaran. Sepeda motor yang mereka tumpangi membelah udara dingin selepas Subuh dan tiba di lokasi sekira pukul 07.00 WIB.
"Tidak rugi sampai sini. Meski dingin dan jalan menanjak, tapi ketika sampai sini rasanya lega. Bisa menyatu dengan alam, dan menyaksikan Gunung Andong, Telomoyo, Sindoro, Sumbing, dan di sebelah sana itu ada Rawa Pening,” ujarnya.
Editor: Ahmad Antoni