Sewa Tanah Mahal hingga Pajak Tinggi Jadi Alasan Pangeran Diponegoro Lawan Belanda
JAKARTA, iNews.id - Permasalahan sewa tanah konon membuat Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pasalnya sang penguasa kala di tahun 1812 - 1813 itu, konon memberlakukan pajak yang dianggap memberatkan rakyat.
Bahkan konon secara teoritis, pajak itu dimaksudkan untuk memberi keuntungan bagi penduduk pribumi, dengan membebaskan mereka dari kerja paksa (rodi). Kerja rodi inilah diberikan agar para kaum pribumi ini mau membayar pajak tanah saja.
Dikisahkan dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855" tulisan Peter Carey, yang terjadi justru tidak adanya survei atau penelitian tentang batas - batas tanah milik, dan pengumpul pajak yang terlatih baik. Maka kewajiban pajak itu sering dibebankan dengan ketidakadilan kepada penduduk pribumi.
Harapan bahwa pajak dapat dibayar dengan uang tunai, bukan dalam bentuk barang, dalam kenyataannya sering meleset, ekonomi kaum petani Jawa umumnya berbasis barter.
Dengan demikian, inisiatif Raffles tersebut ternyata justru kian membuat para petani Jawa, semakin terjerumus jauh ke dalam cengkeraman para rentenir Tionghoa setempat.
Persoalan paling mencolok terjadi di Kedu, daerah yang pernah menjadi salah satu daerah jabatan Keraton Yogya paling makmur di Jawa bagian tengah. Kedu merupakan daerah dimana pada masa setelah 1816 dibuka sejumlah perkebunan kopi yang sangat luas.
Pada tahun 1827, luas areal tanaman kopi ini sudah meliputi hampir tiga perlima dari seluruh dataran tinggi Kedu.
Tapi perkembangan kebencian para petani penggarap lahan di distrik Kedu, akibat beratnya kerja rodi di perkebunan - perkebunan kopi, berakibat pada luasnya dukungan penduduk lokal kepada Pangeran Diponegoro selama Perang Jawa.
Mereka bersama - sama mendukung langkah Pangeran Diponegoro dalam mengobarkan perlawanan ke Belanda.
Putra termuda Bupati Semarang Suro Adimenggolo IV yakni Raden Mas Sukur, membeberkan laporan sulitnya kehidupan sebagian besar penduduk, akibat gagalnya panen tembakau.
Hancurnya tanaman padi oleh hama tikus di tahun 1819 dan 1822, sehingga penduduk terpaksa makan dedaunan dan rerumputan. Sukur mengingatkan, suatu pemberontakan rakyat akan meledak dalam tempo tidak lama lagi.
Peringatan ini menjadi kenyataan pada bulan Juli 1825, ketika sekitar 35.000 penduduk di selatan Probolinggo bangkit melakukan perlawanan massa.
Hal ini terjadi setelah kegagalan total panen tembakau dan datangnya berita tentang pemberontakan Diponegoro di Yogya. Target serangan mereka adalah orang - orang Eropa dan Tionghoa, pos - pos pajak tanah, gerbang cukai, serta rumah - rumah pengawas pajak, dan pengawas perkebunan.
Komunitas Tionghoa yang berdiam di situ harus lari menyelamatkan diri ke ibu kota provinsi, Magelang, dan daerah pantai utara Jawa.
Editor: Nur Ichsan Yuniarto