SEMARANG, iNews.id – Ratusan orang termasuk puluhan anak TK hingga siswa SMA menampilkan pentas aspirasi berupa drama untuk mencintai bumi. Mereka juga menggelar flashmob dari Bundaran Tugu Muda berjalan ke Balai Kota Semarang, Jumat (15/9/2023).
Mereka mengenakan ikat kepala kuning dan membentangkan aneka poster warna-warni bergambar bumi dan spanduk bertuliskan “Semarang Tenggelam Kalau Kita Diam”. Mereka juga berorasi dan baca puisi serta doa dari sejumlah pemuka agama.
Koordinator Jaringan Peduli Iklam dan Alam (Jarilima) Ellen Nugroho mengemukakan ini adalah aksi ke-4 Semarang Cilmate Srtike digelar, sebagai bagian dari seruan kepedulian para perubahan iklim sedunia alias global cilmate strike. Di Indonesia, aksi ini juga digelar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Riau, Jambi hingga palu.
Pesan strike sedunia tahun ini adalah mendesak dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang konkret mengurangi, mengganti, atau menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Penambangan, pembakaran batu bara, minyak bumi, gas alam membuat efek gas rumah kaca, menumpuk di atmosfer dan membuat energi matahari terperangkap di bumi.
“Suhu bumi naik, menyebabkan aneka masalah bagi kita, mulai dari memanjangnya kemarau, cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, sampai munculnya siklon tropis yang mendekat ke khatulistiwa yang memakan ratusan korban jiwa. Jika kita terus hidup dengan kecanduan bahan bakar fosil seperti sekarang ini, dalam sepuluh tahun lagi, krisis iklim sudah tak terbayangkan,” jelas Ellen Nugroho.
Iqbal Alma dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng, menambahkan pantai utara Jawa jadi area yang akan sangat terdampak perubahan iklim. Dia melansir prediksi BMKG, pada tahun 2032-2040, suhu harian akan meningkat banyak dan hari-hari kering makin panjang.
“Ini berisiko menimbulkan gagal panen, krisis air persih dan pangan, dan itu semua bisa membuat ketidakstabilan sosial dan politik. Para ahli memperhitungkan, skenario paling optimis pun, secara bertahap temperatur harian akan terus naik, sampai akhirnya sampai ke taraf mematikan, orang sudah tidak aman lagi berkegiatan di luar rumah. Sekitar 70-80 tahun lagi, penduduk Pulau Jawa akan mengalami panas mematikan itu sebanyak 200-300 hari dalam setahun,” tambahnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait