Linggayani Soentoro dari EduHouse mengatakan sebagai orangtua percepatan perubahan iklim itu sangat merisaukan. “Jadi memang hari ini, ayah ibu membawa anak-anak mereka untuk ikut menyuarakan kegelisahan, semoga segera muncul kebijakan-kebijakan yang konkret untuk mengurangi, mengganti, atau meninggalkan bahan bakar fosil. Kita perlu stop kecanduan kita pada bahan bakar fosil,” katanya.
Einsten Yusuf dari Charlotte Mason Indonesia (CMid) Semarang mengatakan masyarakat bisa berkontribusi menahan laju perubahan iklim dengan mengganti pilihan pangan agar rendah emisi karbonnya. Menghindari pangan hewani dan beralih ke nabati.
“Kita bisa mengganti moda transportasi, lebih banyak menggunakan transportasi publik. Kita juga bisa mengurangi konsumsi listrik di rumah dan sangat penting kita mengedukasi orang sekitar kita tentang perubahan iklim, termasuk bergabung bersama dengan aksi iklim seperti ini,” tuturnya.
Setyawan Budy dari Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) mengatakan para pemuka agama mesti proaktif mengajak umat untuk melakukan aksi-aksi nyata di isu perubahan iklim ini. Sebab pengaruh para pemuka agama sangat besar.
“Agama membawa pesan rahmat bagi semesta, jadi umat beragama mesti melampaui urusan ritual, tapi riil menjadi pelopor perubahan gaya hidup rendah karbon, juga bergandeng tangan, tanpa membedakan lagi dari agama apa, kepercayaan apa, karena kalau bumi ini rusak, kita semua akan merasakan dampaknya, tidak peduli apa keyakinan kita,” tegasnya.
Aksi Semarang Climate Strike dikoordinir oleh Jaringan Peduli Iklim dan Alam (Jarilima) yang terdiri dari antara lain Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), EIN Institute, CMid Semarang, CM Teens, EduHouse, Rotary Bimasena, Klub Merby, WALHI Jateng, Gusdurian Semarang, LBH Semarang, KKPKC Kevikepan Semarang, Hysteria, Bukit Buku, XR Semarang, Roemah Difabel Inklusi, Greenpeace Semarang, dan Masyarakat Indonesia Rendah Karbon (MIRK).
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait