Agus mengatakan, hingga Jawa Tengah masih dinyatakan bebas antraks. Namun demikian, ia tidak menampik kasus tersebut pernah terjadi di Jateng beberapa waktu silam.
Di antaranya, Kabupaten Klaten pada 1990, Kabupaten Semarang pada 1991, Kota Surakarta di tahun 1991 dan 1992. Selain itu wilayah Boyolali juga pernah terjangkit antraks pada tahun 1990 hingga 1992 dan terakhir 2012.
Adapula Karanganyar pada 1992, Kabupaten Pati pada 2007, Kabupaten Sragen pada 2010 dan 2011 , serta Kabupaten Wonogiri.
"Kami imbau masyarakat tidak perlu panik tapi tetap waspada. Masyarakat cepat laporkan bila mana ada hewan yang sakit. Kalau ada manusia yang sakit (diduga tertular antraks) segera berobat. Tetap jaga kesehatan ternak, jikalau terjadi terapkan prosedur, semuanya harus bergerak dari pemerintah hingga masyarakat," jelasnya.
Sementara, Medik Veteriner Disnakkeswan Jateng Slamet mengatakan antraks dapat menular melalui berbagai media. Spora antraks dapat menular melalui kontak dengan hewan dan memakan daging hewan yang tertular bakteri.
Oleh karena itu, penting bagi warga atau peternak melakukan pencegahan dini. Bila menemukan hewan sakit dan memiliki ciri ada pendarahan di lubang tubuh, peternak perlu mewaspadainya.
"Cirinya itu pada hewan yang sakit atau mati ada gejala darah yang keluar dari mulut, kuping, kemudian hidung, dubur dan alat kelamin," jelasnya.
Jika tertular ke manusia, ada ciri spesifik yang dilihat. Misalnya, munculnya keropeng atau borok di kulit. Jika tidak diobati, bisa menular ke bagian tubuh lain.
"Keropeng atau borok di kulit itu seperti huruf U (cekung). Segera berobat. Nanti di puskesmas atau di rumah sakit akan diambil sampel darah untuk memastikan darahnya tertular antraks atau tidak. Yang penting gaya hidup bersih pada ternak dan manusia. Dan Jangan sampai ternak yang sakit dan mati itu dimakan," ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait