SEMARANG, iNews.id - Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Provinsi Jawa Tengah menyebut sedikitnya 91 persen jenis berita hoaks yang banyak beredar di masyarakat adalah menyangkut politik dan sosial. Termasuk menyangkut pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pemerintahan.
Sedangkan isu lain menyangkut SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), candaan, bencana alam, dan lalu lintas. “Bentuk hoaks yang paling banyak berupa tulisan (62,10 persen), gambar (37,50 persen) dan video (0,40 persen). Dari bentuk itu, yang paling banyak dishare adalah melalui sosial media, mencapai 92,40 persen. Meliputi facebook, twitter, instagram, path, WhatsApp, line, telegram dan lainnya,’’ kata Kabid Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Jateng, Agung Kristianto dalam Prime Topic MNC Trijaya FM di Semarang, Senin (14/12/2020).
Menyikapi informasi atau berita bohong maupun palsu ini, pihaknya melakukan literasi kepada masyarakat. Termasuk juga membuat konten-konten yang mengedukasi ke warga tentang bagaimana berita atau informasi yang benar.
Sementara, Rektor Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, Prof Ridwan Sanjaya mengatakan, informasi yang tidak benar alias hoaks, memang saat ini makin meluas, seiring dengan pemakaian media sosial di tengah masyarakat.
Cara mengenalinya, salah satunya, adalah misalnya, jika ada informasi masuk ke WhatsApp kemudian, di terakhirnya ada kata-kata, ayo sebarkan, dan kirim ke lainnya. Ciri lainnya, bombastis.
Ketua Komisi A DPRD Jateng Mohamad Saleh mengatakan, DPRD Jateng dengan Diskominfo akan konsen untuk melakukan literasi bagi masyarakat terkait dengan penyebaran berita hoaks.
‘’Meski agak sulit memantau sedikitnya 35 juta penduduk Jateng, yang banyak, namun kami berkomitmen melakukan literasi terkait dengan hal itu. Butuh teknologi dan kreativitas, kata Saleh.
Pihaknya mendukung upaya literasi untuk menangkal hoaks. Dengan memberi informasi dan edukasi bagi masyarakat. Termasuk membuat Satgas Hoaks, jika memang dibutuhkan. Literasi penting, bisa dilakukan baik itu lewat media online maupun cetak,’’ katanya.
Di sisi lain, kata dia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 menjadi dasar hukum untuk menjerat pelaku penyebaran hoaks.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait