“Tapi, kekuatan PDIP kan sekitar 20 persen lebih dari total pemilih nasional. Untuk meraih 50 persen plus, butuh dukungan partai lain. Dan pemilih Jokowi di 2019 kan bukan hanya dari PDIP. Ada dari Nasdem, Golkar, dan lain-lain. Artinya apa? Artinya aspek-aspek dari partai lain juga perlu dihitung, kalau bicara soal partai,” ujarnya.
Saiful menegaskan, dalam diskusi dan literatur politik selama pilpres, peran tokoh sangat penting di tengah lemahnya hubungan pemilih dengan partai politik di Indonesia.
Dari survei-survei nasional tatap muka yang dilakukan SMRC selama setahun terakhir, Saiful menemukan bahwa mereka yang memilih Jokowi di Pilpres 2019, trennya cenderung memilih Ganjar. Meskipun banyak juga yang bergeser ke Prabowo dan Anies Baswedan.
Dari Mei 2021 hingga Maret 2022, Saiful menguraikan, selama empat kali survei, Ganjar merebut paling banyak pemilih Jokowi. Dari 32,8 persen di Mei 2021, sempat melonjak 40,6 persen di Desember 2021, dan terakhir 36,9 persen di Maret 2022.
Sementara Prabowo meraih 24,6 persen di Mei 2021, turun 22,4 persen di Desember 2021, dan naik lagi menjadi 26,3 persen di Maret 2022. Sementara Anies meraih 23,8 persen di Mei 2021, dan 20,8 persen di Maret 2022.
“Jadi trennya, Ganjar selalu unggul. Kedua Prabowo. Sementara Anies cenderung statis,” kata Saiful. “Sekarang peperangan terjadi antara Prabowo dengan Ganjar. Antara Desember-Maret, Prabowo naik 4 persen. Dan Ganjar turun 4 persen,” imbuhnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait