“Kesalahan anak harus dilihat sebagai bagian dari proses belajar, anak mesti diajari menaaati peraturan atas kesadaran dan tanggung jawab, sebagai konsekuensi logis,” sambungnya.
Direktur SMA Kemendikbudristek Winner Jihad Akbar mengemukakan program disiplin positif ini bisa diterapkan di semua jenjang sekolah. “Mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA dan sederajatnya,” kata dia pada kegiatan itu.
Dia mengatakan usia SMP dan SMA menjadi fase paling rawan terjadi berbagai pelanggaran dilakukan siswa, ini berkaitan dengan perkembangan hormonal mereka.
“Biasanya anak-anak pelaku (kekerasan), didahului jadi korban, yang disayangkan pelakunya itu orangtua atau guru,” sambungnya pada kegiatan yang juga dihadiri Direktur SMP Kemendikbudristek I Nyoman Rudi.
Akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Rika Saraswati mengemukakan dia telah melakukan riset terkait hal ini. Beberapa responden diwawancara.
“Ketika ada siswa melakukan pelanggaran ternyata ada aktor-aktor di luar guru yang memberi dukungan, dari satpam hingga petugas kantin. Jawaban itu muncul, sehingga sekolah perlu membuat regulasi (sebaiknya) disiplin positif,” kata Rika pada kegiatan itu.
Perwakilan UNICEF, Zubedy Koteng mengatakan kegiatan yang sudah dilakukan bersama Yayasan Setara dan Kemendikbudristek adalah ypaya integral dan menyeluruh sebagai upaya memperkuat pendidikan karakter.
“Kami mengupayakan disiplin di lingkungan sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, nyaman dan menyenangkan. UNICEF berkomitmen melindungi setiap anak di manapun berada,” ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait