Marthinus mengatakan, pada konteks media sosial, kelompok teror ISIS cerdas memanfaatkan momentum-momentum tertentu.
“Contohnya pada 2014, mereka memanfaatkan momentum World Cup (Piala Dunia) Brasil yang sedang tren dalam pencarian di media sosial, mereka (propagandis radikal-teror) menyisipkan berita-berita propaganda ke dalam tren (pencarian). Klik untuk diarahkan ke propaganda-propaganda medsos,” ungkapnya.
Perekrutan di tingkat lokal, sangat dipengaruhi tren yang terjadi di ranah global. Marthinus mencontohkan isu trending lainnya yang dimanfaatkan propagandis radikal teror adalah kemenangan Donald Trump jadi Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 hingga Brexit tahun 2020.
“Twitter dan Facebook yang paling banyak digunakan (sebagai sarana propaganda radikal teror), karena di sana memiliki algoritma yang sedang tren,” jelasnya.
Sebab itu, kata Marthinus, anak-anak muda tak terkecuali para mahasiswa diajak untuk bersama-sama membuat konten-konten positif dan disebarkan di media sosial.
Editor : Ahmad Antoni
densus 88 antiteror polri media sosial terorisme radikalisme unika soegijapranata propaganda radikal-teror
Artikel Terkait