"Artinya, anak itu sekarang tidak melihat dari apa-apa yang ada di keluarganya dan lingkungan sekitarnya, tetapi mereka juga melihat dari apa yang ada di media sosial, di internet," ujarnya.
Ketika terhubung dengan dunia semacam itu, kata dia, anak-anak dihadapkan dengan berbagai masalah dan kemudian muncul-muncul figur baru yang menjadi teladan bagi mereka, terutama dari media sosial yang menghadirkan sesuatu serba glamor.
"Hal itu mengakibatkan mentalitas anak menjadi labil dan minder, misalnya beranggapan jika ingin diterima di lingkungannya harus memiliki sesuatu yang sama seperti teman-temannya," ujar Tri.
Dalam hal ini, kata dia, ketika anak-anak yang lain memegang gawai, sedangkan anak tersebut tidak punya, yang bersangkutan merasa minder dan lingkungan juga tidak ramah saat melihat situasi itu.
Menurut dia, hal tersebut menjadikan anak itu kurang dalam kematangan berpikir ataupun emosionalnya, sehingga kalau meminta sesuatu selalu memaksa atau harus dipenuhi tanpa memahami bagaimana kondisi keluarganya.
"Apalagi anak yang melakukan pembakaran rumah itu hidup bersama nenek angkatnya. Dia berkembang pada lingkungan yang tidak penuh kasih sayang, artinya kasih sayang yang seharusnya diperoleh dari kedua orang tuanya, dia tidak dapatkan," jelasnya.
Dengan demikian, kata dia, anak tersebut hidup dengan penuh kekecewaan atau luka batin yang tidak terobati, sehingga emosionalnya meledak-ledak, mudah tersulut, dan sebagainya.
Oleh karena itu, lanjut dia, dalam mendidik anak harus dengan kasih sayang serta memberi budi pekerti agar bisa memahami kondisi keluarga.
"Latar belakang anak yang tidak mendapatkan kasih sayang yang utuh dapat mengakibatkan mentalitas anak menjadi bermasalah," ujar Ketua Forum Komunikasi Pengarusutamaan Gender Kabupaten Banyumas itu.
Editor : Ahmad Antoni
polresta banyumas Kabupaten Banyumas membakar rumah nenek universitas jenderal soedirman unsoed Bapas Balai Pemasyarakatan kejiwaan
Artikel Terkait