SOLO, iNews.id – Kisah Kampung Balong menarik untuk diulas. Kampung Balong berada di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo, Jawa Tengah.
Kampung ini merupakan permukiman warga Tionghoa pertama di Kota Solo. Warga Tionghoa sebelum menempati Kampung Balong sempat tinggal di kawasan Pasar Gede.
Awalnya, Kampung Balong merupakan kawasan perkebunan yang terdapat pemakaman ketika pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau Keraton Solo.
Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber, nama Balong berasal dari kata balung. Sehingga saat warga Tionghoa menjadikan nama kawasan tersebut banyak menemukan balung atau tulang manusia, kemudian berubah menjadi Balong.
Warga yang tinggal di Kampung Balong didominasi kelompok menengah ke bawah. Mereka banyak bekerja sebagai buruh, kuli, pedagang dan sebagainya. Kehidupan harmonisasi antara orang Tionghoa dan Jawa, tampak begitu melekat.
Dalam sejarahnya, saat pemerintahan Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X sekitar tahun 1900 an, tinggal orang-orang Tionghoa di kampung yang saat ini disebut Sudiroprajan.
Kemudian PB X membangun kampung tersebut, yakni kelenteng yang merupakan tempat peribadatan. Tapi, VOC ketika itu masih berkuasa memberlakukan Wijkenstelsel (permukiman khusus) dan Passestelsel (pembatasan mobilitas dengan pemberlakuan sistem pas jalan).
Pemberlakuan itu biasanya khusus dari orang-orang Asia Timur, seperti Tionghoa, India, Arab. Orang Tionghoa di Sudiroprajan, orang Belanda di Loji Wetan (Sangkrah), dan orang Arab di Pasar Kliwon.
Sehingga warga Tionghoa dilarang bermukim di luar Sudiroprajan. Hal itu karena berada di jalur perdagangan. Setelah tahun 1919, sudah tidak lagi diberlakukan Wijkenstelsel dan Passestelse. Maka warga Tionghoa sudah tidak lagi tinggal di dalam Sudiroprajan.
Di Kampung Balong, harmonisasi antara warga Tionghoa dan Jawa terjaga dengan baik hingga sekarang. Kehidupan sosial komunitas warga Tionghoa banyak mengalami perubahan, seperti upacara-upacara adat, nama, agama, kesenian, perkawinan, kematian, dan mentalitas.
Perubahan ini disebabkan adanya perkawinan campur dengan Jawa, dan penerimaan kebijakan asimilasi masa Orde Baru. Keberadaan warga Tionghoa di Solo itu dilakukan bertahap migrasi.
Pada gelombang pertama, ada beberapa biksu yang masuk ke Solo. Tapi kedatangan mereka dilakukan secara bergantian. Gelombang kedua, ketika zaman Dinasti Ming, termasuk penyebaran Islam ke Nusantara.
Pada gelombang ini mayoritas pria, perempuannya sedikit. Kemudian gelombang ketiga itu, yang datang suami istri. Sehingga kemudian melahirkan apa yang disebut Tionghoa peranakan. Yang di Kampung Balong atau Sudiroprajan dan sekitarnya kebanyakan Tionghoa peranakan.
Editor : Ahmad Antoni
kisah kampung balong kota solo jawa tengah warga tionghoa pasar gede dinasti ming keraton solo keraton kasunanan PB X paku buwono
Artikel Terkait