Lukisan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya petang hari 8 Maret 1830, yang dibuat sebelum perundingan damai di Magelang. (foto: repro/ist)

JAKARTA, iNews.id - Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) yang dimulai bulan Juli 1825 dan berlangsung sengit itu, pada akhirnya menempatkan pihak Kompeni Belanda pada posisi di atas angin.

Strategi membangun benteng-benteng darurat, ditambah melipatgandakan pasukan gerak cepat berhasil membuat posisi Pangeran Diponegoro semakin terjepit. Pada bulan September 1829, Diponegoro terkurung di lembah sempit di antara Kali Progo dan Kali Bogowonto.

Bayangan datangnya kekalahan semakin dekat di depan mata. Di bulan yang sama itu, satu persatu orang-orang kepercayaan Diponegoro terbunuh yang itu membuatnya sangat berduka sekaligus menjadikannya merasa hidup sebatang kara.

“Pada tanggal 21 September pamannya Pangeran Ngabehi, dan dua putranya tewas secara mengenaskan di pegunungan Kelir,” tulis Peter Carey dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).  

Pada bulan berikutnya di tahun yang sama (1829), situasi semakin memburuk. Sentot Ali Basah Prawirodirjo yang menjadi salah satu senopati andalan Pangeran Dipongeoro, membuka perundingan dengan Belanda. Sentot menyerah. Di akhir bulan, Raden Ayu Mangkorowati, ibunya dan Raden Ayu Gusti, putrinya telah ditawan Belanda.

Namun situasi yang sudah tidak menguntungkan itu tidak juga mengubah sikap Diponegoro untuk tetap mengobarkan peperangan. Kendati demikian posisinya tak lebih dari seorang pelarian yang diburu ke sana – sini. Apalagi kompeni Belanda juga membuka sayembara 20.000 gulden untuk siapa saja yang bisa menyerahkan kepalanya.


Editor : Nur Ichsan Yuniarto

Halaman Selanjutnya
Halaman :
1 2 3 4 5
BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network