SOLO, iNews.id – Rumah adat Jawa Tengah terdapat beberapa jenis yang memiliki nama, sejarah dan ciri khas. Pada era modern seperti sekarang, rumah adat Jawa Tengah masih bertahan.
Rumah adat Jawa Tengah di antaranya ada yang menjadi primadona di kalangan masyarakat. Berikut beberapa jenis rumah adat Jawa Tengah yang akan dikupas dalam tulisan ini.
1.Rumah Joglo.
Rumah adat Jawa Tengah berbentuk joglo saat ini sudah jarang dijadikan tempat tinggal. Masyarakat kini banyak yang membangun rumah dengan desain modern. Namun demikian, Rumah Joglo pada masa sekarang banyak dipakai untuk konsep restoran ataupun hotel, sehingga siapapun yang masuk bisa merasakan suasana desa di Jawa Tengah pada zaman dahulu.
Rumah Joglo merupakan rumah adat Jawa Tengah yang paling dikenal dibanding bentuk lainnya. Rumah Joglo pada zaman dahulu merupakan simbol status sosial. Hanya orang kaya yang memiliki. Bahan-bahan untuk membuat Joglo lebih mahal dan lebih banyak. Selain membutuhkan biaya, waktu yang dibutuhkan juga cukup banyak.
Pada masa dulu, Rumah Joglo dianggap hanya boleh dimiliki oleh bangsawan, raja, dan pangeran. Masyarakat biasa yang memiliki penghasilan rendah, tidak mampu atau tidak berani untuk membuatnya. Namun kini Rumah Joglo bisa dimiliki berbagai kalangan, dengan bahan-bahan yang lebih variatif dan harga terjangkau.
Rumah Joglo memiliki bentuk bujur sangkar dengan empat pokok tiang di tengahnya. Tiang itu dinamakan saka guru. lalu untuk menopang tiang dipakai blandar bersusun yang bernama tumpang sari. Seiring berkembangnya zaman, ada tambahan-tambahan ruang di dalam rumah Joglo . Namun, dasar rumahnya tetap berbentuk persegi.
Bahan dasar untuk membuat rumah Joglo adalah kayu. Berbagai jenis kayu bisa dipakai untuk membuat rumah adat Joglo, di antaranya jati, sengon, dan kelapa. Kayu jati selalu menjadi primadona untuk dijadikan bahan utama karena ketahanan, keawetan, dan kekuatannya.
Beberapa ciri khas Rumah Joglo adalah bagian atap terbuat dari genteng tanah liat. Pada era dulu, masyarakat tradisonal ada yang memakai ijuk, jerami, atau alang-alang untuk membuat atap rumahnya. Pemakaian bahan-bahan dari alam dengan atap yang tinggi membuat penghuni merasa sejuk dan nyaman untuk ditempati.
Sirkulasi udara di rumah Joglo sangat baik. Atap yang dibuat bertingkat-tingkat menyimpan makna tersendiri. Ketinggian atap Joglo yang bertahap, mempunyai hubungan pergerakan manusia dengan udara.
Selain bentuk atap bertingkat, salah satu hal yang menjadi ciri khas dari rumah Joglo yaitu bentuk atapnya. Atap rumah Joglo adalah perpaduan dari dua bidang atap segitiga dengan dua bidang atap trapesium. Di atap-atap itu mempunyai sudut kemiringan yang beda. Atap Joglo selalu ada di tengah dan diapit oleh atap serambi.
Gabungan dari atap Joglo dan serambi ada dua macam. Gabungan pertama memiliki nama Lambang Sari. Atap Joglo Lambang Sari merupakan atap Joglo yang disambung dengan atap serambi. Gabungan kedua, yaitu gabungan dengan menyisakan lubang-lubang udara pada atap. Gabungan ini memiloki nama Atap Lambang Gantung.
Desain rumah Joglo sendiri tidak sembarangan. Desain-desain itu sudah mengerucut menjadi beberapa Joglo. Nama-nama rumah Joglo yaitu Pangrawit, Jompongan, Limasan Lawakan, Tinandhu, Mangkurat, Sinom, dan Hageng.
Pemberian nama Joglo pada rumah adat Jawa Tengah syarat dengan berbagai macam makna. Kata Joglo diambil dari kata tajug dan loro. Makna dari kata itu adalah penggabungan dua tajug. Atap rumah Joglo memang berbentuk tajug yang menyerupai gunung.
2. Rumah Adat Panggang Pe.
Rumah adat Jawa Tengah berikutnya adalah Panggang Pe berasal dari dua kata, yaitu panggang dan ape yang artinya sebagai dijemur. Rumah Panggang Pe dianggap paling sederhana jika dibandingkan rumah adat Jawa Tengah lainnya. Bentuknya bujur sangkar atau persegi panjang, dengan jumlah tiang-tiangnya lebih banyak dibandingkan dinding.
Rumah jenis ini dulunya difungsikan untuk menjemur berbagai barang, seperti hasil pertanian ketela, daun teh, dan lainnya. Rumah Panggang Pe juga digunakan untuk tempat berlindung sementara dari terpaan hujan, angin, atau sinar matahari yang terik. Pada malam hari, Rumah Panggang Pe bisa juga difungsikan sebagai pos ronda.
Pada perkembangannya, jenis rumah ini dijadikan sebagai warung makan, kios, dan pabrik industri rumahan sederhana. Walaupun sederhana, Rumah Panggang Pe terbagi menjadi beberapa jenis, antara lain Rumah Panggang Pe Barengan yang dibangun berderet, Trajumas, Cere Gancet, Gedhang Setangkep, Empyak Setangkep, Gedhang Salirang, dan Panggang Pe Pokok.
Rumah Panggang Pe juga disebut sebagai Rumah Cakrik dianggap sebagai salah satu rumah adat Jawa yang paling sederhana dari segi arsitektur, karena rumah ini lebih didominasi oleh tiang-tiang daripad tembok. Rumah Panggang Pe juga biasanya berbentuk bujur sangkar atau persegi, rumah Panggang Pe juga memiliki empat hingga enam tiang penyangga tiang utama, atau yang disebut sebagai saka. Jumlah tiang-tiang itu dibagi antara sisi depan dan belakang rumah. Tiang-tiang yang menyangga sisi belakang rumah biasanya dibuat lebih panjang karena sisi belakang rumah biasanya lebih tinggi dan sisi depan dibuat lebih miring.
3. Rumah Tajug.
Rumah adat Jawa Tengah berikutnya adalah Rumah Tajug yang berbentuk bujur sangkar dengan atap yang runcing. Rumah Tajug digunakan sebagai tempat ibadah dan merupakan tempat yang sakral. Dahulu, Rumah Tajug tidak bisa dibangun oleh orang biasa karena kesakralannya. Salah satu contoh Rumah Tajug yang masih ada dan digunakan hingga saat ini adalah Masjid Agung Demak di Kabupaten Demak. Masjid ini didirikan oleh Walisongo pada masa Kerajaan Demak.
Ada pula Masjid Wustho Mangkunegaran di Kota Solo yang atapnya merupakan tipe Rumah Tajug. Rumah Tajug juga memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah Semar Tinandu, Lambang Sari, Semar Sinongsing, dan Mangkurat.
Tipe tajug khusus digunakan untuk masjid dan bangunan-bangunan suci lainnya. Orang biasa tidak diperkenankan membangun rumah dengan tipe ini karena rumah tajug termasuk yang disucikan. Ciri Rumah Tajug, yaitu bentuk atapnya yang runcing, seperti bujur sangkar (bukan persegi panjang). Tajug memiliki kurang lebih sekitar 13 tipe di antaranya towan boni, masjid dan cungkup, semar sinongsong, lambang sari, mangkurat, ceblokan, semar tinandu.
4. Rumah Kampung.
Rumah adat Jawa Tengah selanjutnya adalah Rumah Kampung. Bentuknya hampir sama dengan Rumah Panggang Pe, terdiri dari teras depan dan belakang yang terbuka. Perbedaannya adalah Rumah Kampung memiliki ruangan tertutup di bagian tengah. Karena rumah ini memang digunakan sebagai rumah tinggal.
Ciri khas rumah adat model kampung adalah tiang penyangga yang jumlahnya kelipatan angka 4, yaitu 8, 12, 16, dan seterusnya. Adapun ciri khas dari rumah Kampung, yaitu adanya dua teras, satu di depan rumah dan satunya di belakang rumah.
Rumah Kampung biasanya terbuat dari kayu nangka atau kayu mahoni. Lalu apabila dilihat dari samping, maka rumah ini hampir mirip segitiga.
5. Rumah Limasan.
Rumah adat Jawa Tengah selanjutnya adalah Rumah Limasan. Rumah jenis ini umumnya digunakan masyarakat yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari rakyat jelata, tetapi lebih rendah dari kaum bangsawan. Diberi nama masan karena bentuk atapnya berbentuk seperti limas. Atap ini memiliki 4 sisi yang menghadap ke 4 arah mata angin.
Jumah Limasan pun memiliki beberapa jenis, diantaranya adalah Limasan Lawakan, Klabang Nyander, Semar Pindohong, dan Gajah Mungkur. Saat ini sudah banyak rumah yang menggabungkan konsep Limasan dengan gaya modern.
Arsitekturnya memiliki keunikan di bagian atapnya. Sesuai dengan namanya, yaitu Limasan, rumah adat ini memiliki atap yang berbentuk seperti limas. Adapun bentuk bangunannya sama seperti yang lain, yaitu bentuk persegi. Rumah adat Limasan memang sangat sederhana. Hal ini juga sesuai dengan karakteristik orang Jawa yang sederhana.
Selain itu, rumah Limasan juga menyimpan filosofinya sendiri. Rumah adat Limasan disebut-sebut tahan gempa, sebab kokohnya semua tiang penyangga yang terbuat dari kayu, sehingga sangat sesuai sebagai tempat untuk melindungi orang-orang di dalamnya.
Editor : Ary Wahyu Wibowo
Artikel Terkait