Ini Cara Jitu Cegah Perundungan, Hukuman Fisik hingga Sikap Intoleran di Lingkungan Sekolah
SEMARANG, iNews.id – Menerapkan program disiplin positif di lingkungan sekolah dinilai bisa jadi solusi menekan berbagai kejadian kontraproduktif di lingkungan sekolah. Kejadian itu seperti perundungan, hukuman fisik hingga sikap intoleransi.
“Disiplin positif dibuat kesepakatan bersama para siswa (antara siswa dan guru), jadi tidak hanya dari satu pihak. Tujuannya menghargai relasi antarwarga sekolah,” kata Bintang Alhuda dari Yayasan Setara pada talkshow daring bertajuk Disiplin Positif untuk Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila dalam Kebijakan merdeka Belajar, Senin (16/10/2023).
Bintang menyebut, pihaknya bekerja sama dengan UNICEF hingga Kemendikbudristek khususnya Direktorat SMA dan SMP. Tujuannya sebagai upaya pencegahan kekerasan di sekolah.
Dia mengatakan untuk jenjang SMA, program disiplin positif telah dilaksanakan dan berhasil menjangkau 114 sekolah di 36 provinsi dan 75 kabupaten/kota dengan total 117 peserta yang terdiri 73 pria dan 44 wanita.
Selain itu juga dilakukan monitoring dan evaluasi program ini yang telah menjangkau 39 sekolah di 21 provinsi dan 31 kabupaten/kota dengan total 40 peserta, terdiri 21 pria dan 19 wanita.
Selain para siswa, kegiatan itu juga melibatkan guru khususnya wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, guru bimbingan konseling (BK) hingga pengawas satuan pendidikan.
Pada paparannya, Bintang juga menyebut selain hukuman fisik, hukuman non-fisik yang didapat para siswa berupa meremehkan, menghina atau mengancam juga bisa berpengaruh.
“Kesalahan anak harus dilihat sebagai bagian dari proses belajar, anak mesti diajari menaaati peraturan atas kesadaran dan tanggung jawab, sebagai konsekuensi logis,” sambungnya.
Direktur SMA Kemendikbudristek Winner Jihad Akbar mengemukakan program disiplin positif ini bisa diterapkan di semua jenjang sekolah. “Mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA dan sederajatnya,” kata dia pada kegiatan itu.
Dia mengatakan usia SMP dan SMA menjadi fase paling rawan terjadi berbagai pelanggaran dilakukan siswa, ini berkaitan dengan perkembangan hormonal mereka.
“Biasanya anak-anak pelaku (kekerasan), didahului jadi korban, yang disayangkan pelakunya itu orangtua atau guru,” sambungnya pada kegiatan yang juga dihadiri Direktur SMP Kemendikbudristek I Nyoman Rudi.
Akademisi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Rika Saraswati mengemukakan dia telah melakukan riset terkait hal ini. Beberapa responden diwawancara.
“Ketika ada siswa melakukan pelanggaran ternyata ada aktor-aktor di luar guru yang memberi dukungan, dari satpam hingga petugas kantin. Jawaban itu muncul, sehingga sekolah perlu membuat regulasi (sebaiknya) disiplin positif,” kata Rika pada kegiatan itu.
Perwakilan UNICEF, Zubedy Koteng mengatakan kegiatan yang sudah dilakukan bersama Yayasan Setara dan Kemendikbudristek adalah ypaya integral dan menyeluruh sebagai upaya memperkuat pendidikan karakter.
“Kami mengupayakan disiplin di lingkungan sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, nyaman dan menyenangkan. UNICEF berkomitmen melindungi setiap anak di manapun berada,” ujarnya.
Editor: Ahmad Antoni