Kisah Sukses Warga Grobogan Daur Ulang Kain Perca, Berdayakan Ratusan Pengangguran
GROBOGAN, iNews.id - Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan kini telah berubah menjadi sebuah desa daur ulang limbah kain perca. Di desa ini ratusan kepala keluarga yang awalnya pengangguran kini telah menjadi penghasil produk-produk yang memiliki daya jual dan nilai estetika tinggi.
Produk tersebut seperti tas, kasur, bantal, sarung bantal, sprei dan berbagai macam souvenir. Ide awal pengolahan limbah kain perca dan pemberdayaan ratusan kepala keluarga yang menganggur ini muncul dari seorang warga yang bernama Rojikin.
Uang modal sebesar Rp33 juta hasil kerja merantau dia gunakan untuk membeli limbah kain perca dari beberapa perusahaan sejak setahun lalu.
Rojikin yang bekerja sebagai kontraktor bangunan kini banting stir menjadi pengusaha kain perca setelah menganggur pada dua tahun lalu akibat dampak dari pandemi.
“Dulu pekerjaan saya pemborong bangunan, bisa dikatakan kayak kontraktor. Merantau ke sana kemari tapi akhir-akhir dengan nyonya (istri) tercinta tak diizinkan merantau,” kata Rojikin, Minggu (12/12/2021).
“Akhirnya mikir ini saya harus kerja apa ya. Singkat cerita saya lobi sebuah perusahaan di situ saya bilang ke manajemen limbahnya saya kelola. Alhamdulillah dari perusahaan tersebut saya diizinkan untuk mengelola limbah,” katanya.
Dia mengaku awalnya sempat bingung untuk mengelola limbah yang begitu banyak. Namun lambat laut menemukan solusi.
“Dari situ kita menggandeng warga. Karena kalau milih sendiri tak memungkinkan karena limbahnya banyak sekali, satu hari bisa dua truk kadang tiga truk. Kalau untuk dikonsumsi sendiri tak mungkin,” ujarnya.
Setiap pagi, puluhan warga Desa Ngroto telah mengantre di pinggir jalan untuk menunggu truk yang mengangkut tumpukan kain perca. Mereka kemudian berebut kain perca yang sudah dibungkus dengan karung.
Satu persatu tumpukan kain ini mereka bawa pulang untuk dilakukan pemilihan dan pemisahan limbah perca yang masih bisa dimanfaatkan dengan yang tidak.
“Kain dipilih bersama-sama kemudian ditimbangi terus dibawa pulang. Setelah itu balik lagi ditimbangi. Prosesnya diolah di rumah,” kata Nur Saidah, perajin limbah kain perca.
Setelah limbah perca dipisahkan, warga kemudian membawanya ke rumah Rojikin untuk ditimbang. Setiap satu kilo kain perca, warga harus membayar atau membeli seharga Rp10.000.
Setelah ditimbang dan dibayar, kain perca yang sudah dipilih ini kemudian dibawa pulang kembali untuk dibuat berbagai macam kreasi produk kain perca.
Aisyah, salah satu penjahit kain perca mengaku roda perekonomian keluarganya semakin meningkat setelah ikut dalam pengolahan limbah perca.
“Dengan bermodalkan uang pinjaman saya membeli sebuah mesin jahit untuk modal usaha. Ide pembuatan tas dari kain perca ini muncul secara otodidak dan hasilnya memuaskan,” kata Aisyah, perajin limbah kain perca.
Sedangkan Lutfiah yang juga awalnya pengangguran dan ibu rumah tangga saja, sejak setahun lalu kehidupannya sudah berubah meningkat drastis. Kini dia juga mempunyai beberapa pekerja dalam produksi kain perca.
Dalam sehari setiap pekerja bisa menyelesaikan sepuluh hingga dua puluh produk tas sarung bantal maupun sprei. “Untuk pembuatan kasur busa membutuhkan waktu tiga hingga lima hari karena harus memilih busa dan perca yang bagus untuk isi kasur,” katanya.
Kendala yang dialami warga saat ini adalah untuk proses pemasaran, dimana sebagian warga masih menggunakan cara manual yakni menitipkan ke beberapa toko dan warung yang biasa dia jumpai. Namun beberapa warga lainnya sudah melakukan promosi penjualan melalui media sosial.
Harga yang ditawarkan pun bervariasi tergantung tingkat kesulitan dalam proses penjahitan dan besar kecilnya produk yakni antara Rp50.000 hingga jutaan rupiah.
Sementara itu, untuk limbah yang tidak terpakai dikumpulkan dan kemudian dijual kembali ke beberapa perusahaan untuk digunakan sebagai bahan bakar pabrik. Sehingga warga tidak akan terganggu dengan adanya limbah kain perca yang tidak digunakan lagi.
Editor: Ahmad Antoni