Pakar Hukum UNS Dukung Gagasan Jaksa Agung Implementasikan Restorative Justice
SOLO, iNews.id - Pakar Hukum Pidana Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Prof Pujiono mendukung pemikiran keadilan berdasarkan hati nurani yang disampaikan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Gagasan dikemukakan saat dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, 10 September 2021.
"Gagasan Jaksa Agung selaku pemegang hak oportunitas itu sangat bagus, visioner dan patut didukung seluruh stakeholder serta diimplementasikan penegak hukum, terutama para Jaksa," kata Pujiono, Kamis (23/09/2021).
Pujiono menyebut, pemikiran tersebut bisa mereformasi penegakan hukum menjadi lebih humanis. Hukum tidak lagi sekedar membuat rasa sakit, tapi mampu bertransformasi menjadi alat stabilisasi kondisi menuju kehidupan harmonis di masyarakat.
Menurutnya, gagasan ST Burhanuddin dapat mengubah paradigma penegakan hukum dari keadilan retributif, yakni pembalasan menuju keadilan restoratif.
Pujiono menekankan, dalam mewujudkan keadilan dalam penegakan hukum memang diperlukan hati nurani. Norma hukum adalah manifestasi nilai yang bersumber dari moral, etik atau rasa kebatinan manusia yang luhur.
"Melalui hati nurani yang bersumber dari suara kebenaran, kebaikan dan ketepatan, maka keadilan dapat diciptakan. Sebaliknya jika hati nurani terpendam oleh kepentingan lain selain kepentingan penegakan hukum, maka yang terjadi adalah munculnya ketidakadilan dalam praktek penegakan hukum," kata guru besar Fakultas Hukum UNS itu.
Dalam konsep itu, kasus-kasus yang relatif ringan dengan parameter yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, tak perlu lagi diselesaikan di meja hijau. Selama masih dimungkinkan untuk restorative justice, maka langkah tersebut sebaiknya diambil.
Kejaksaan adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Artinya ia adalah pemegang hak oportunitas yang menentukan suatu perkara pidana layak atau tidak layak diperiksa dan diputus pengadilan. Maka dengan pemikiran keadilan berhati nurani, bisa menciptakan kemanfaatan hukum di tengah masyarakat.
"Perlu diingat, restorative justice dilaksanakan terhadap perkara yang telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Artinya perkara tersebut secara positivis layak disidangkan," katanya.
Penerapan restorative justice, menurutnya berbeda dengan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang diatur KUHAP. Paling tepat pelaksana restorative justice adalah Jaksa sebagai dominus litis dan pemegang hak oportunitas.
Dalam jangka panjang, Pujiono menilai gagasan Jaksa Agung dapat mengatasi penjara yang over kapasitas. Maka, ke depan penjara hanya untuk tindak pidana yang diselesaikan melalui proses litigasi atau persidangan.
"Oleh sebab itu, sudah saatnya penegakan hukum kita bertransformasi dari otoriter menjadi demokratis yang humanis sebagaimana buah pikiran Jaksa Agung. Dengan demikian, keadilan masyarakat yang selama ini dicita-citakan dapat terwujud," ucapnya.
Editor: Ary Wahyu Wibowo