Sementara Dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Sri Aryanti Kristianingsih menjelaskan peristiwa bunuh diri diawali dari unsur niat, dan dipengaruhi faktor internal berupa kemampuan copying termasuk karakteristik dan kebiasaan menyelesaikan masalah dan eksternal adalah dukungan lingkungan sosialnya. Tulisan terakhir adalah ekspresi perpisahan.
“Orang yang tidak punya tujuan hidup jelas atau orang yang hidup dalam kemarahan, ketidakberdayaan atau orang yang menarik diri dari lingkungan sosial itu berisiko besar bunuh diri. Perempuan lebih rentan,” jelasnya.
Dia meminta pada kasus seperti itu, lingkungan sosial, termasuk teman-temannya lebih peka jika ada orang yang tiba-tiba berperilaku tidak seperti biasanya.
“Kita harus jadi lingkungan yang positif bagi orang lain. Misal ada perubahan perilaku, dari ceria menjadi murung, harus disapa, ditanyakan, jadi ada yang menolong. Sebab jika ada seseorang sudah merasa tidak berdaya, tidak ada support sosial, itu menambah potensi,” ujarnya.
Dosen Fakultas Psikologi UKSW Salatiga Krismi Diah Ambarwati mengemukakan ada kecenderungan ketika orang melakukan aksi itu saat jauh dari lingkungan tempat tinggal asalnya.
“Yang dua ini bukan asli Semarang, kasus sebelumnya di Yogyakarta juga bukan asli (penduduk Yogyakarta). Orang-orang tersebut terpisah dari keluarga utamanya, setiap anak merasa support system itu keluarga,” kata Krismi.
“Mereka yang ngekos terpisah dari support system utamanya yakni keluarga, jadi merasa tidak ada yang mendukung ketika ada persoalan, merasa ini bukan tempat tinggalku, jadi kalau bunuh diri tidak ada beban karena bukan tempat tinggal utamanya,” ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
bunuh diri mahasiswi mahasiswa kota semarang psikolog uksw polda jateng fakultas psikologi universitas kristen satya wacana
Artikel Terkait