JAKARTA, iNews.id - Arti hari raya Idul Fitri bagi umat Islam memiliki makna tersendiri. Sebagaimana diketahui, umat Muslim tidak lama lagi akan segera meninggalkan bulan Ramadhan dan merayakan Idul Fitri 1444 Hijriah atau lebaran 2023.
Hari raya Idul Fitri dirayakan setiap 1 Syawal dan menjadi salah satu momen bahagia bagi umat Islam di seluruh dunia. Idul Fitri tidak hanya menjadi hari kemenangan setelah menahan diri selama bulan puasa.
Lebih dari itu, Idul Fitri adalah suatu hari yang harus dibanggakan, lantaran pada hari tersebut Allah telah menjanjikan ampunan.
Pada hari raya tersebut, umat muslim di seluruh dunia berbahagia dan bersukacita. Kebahagiaan dan kegembiraan tersebut tidak lain karena Allah SWT akan menganugerahkan pahala dan ampunan bagi mereka yang berhasil menyempurnakan ibadahnya.
Allah berfirman, “Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus: 58).
Arti Hari Raya Idul Fitri: Bukan Hari Kemenangan?
Pendiri Pusat Studi Qur'an, Prof. Quraish Shihab pernah mengungkapkan terkait pemaknaan Idul Fitri yang sering diartikan sebagai hari kemenangan. Menurutnya, hal itu perlu sedikit diluruskan.
Sebab, menurutnya telah ada ketidaksesuaian arti dalam pengertian tersebut. Kemenangan secara umum adalah istilah untuk menyebutkan keberhasilan dalam persaingan atau pencapaian tertentu. Jika lebaran atau Idul Fitri adalah hari kemenangan atas nafsu, hal itu sangat disangsikan.
"Saya bertanya kemenangan terhadap siapa ini? Siapa yang Anda lawan sehingga mengumumkan bahwa Idul Fitri itu hari kemenangan? Menang melawan nafsu Anda? Menang melawan setan? Apa benar itu?" kata Quraish Shihab dalam podcast YouTube miliknya yang dikutip iNews.id, Senin(17/4/2022).
Menyambut Idul Fitri sebagai hari kemenangan adalah hal yang keliru. Istilah hari kemenangan selama ini memang merujuk pada lafal ‘Faizin’ yang berarti menang.
"Padahal perjuangan melawan nafsu, perjuangan melawan setan pertempuran itu berlanjut tidak ada hentinya kecuali setelah kita mati. Bisa jadi Anda menduga diri Anda menang padahal sebenarnya Anda sudah kalah, setan itu sangat pandai, dalam Al-Qur'an menyebutnya pandai memperindah yang buruk," terang ayah Najwa Shihab tersebut.
Penulis buku Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat tersebut menjelaskan bahwa ada banyak tingkatan setan yang mengganggu manusia. Bahkan, Rasulullah Muhammad SAW yang mendapat predikat maksum, kata Prof Quraish mengutip ayat dari surat al-Araf, tidak luput dari godaan setan. Oleh sebab itu, ia meminta pertolongan kepada Allah agar terhindar dari godaan setan.
"Jangan pernah menduga Idul Fitri itu hari kemenangan karena kalau Anda mengatakan bahwa Idul Fitri hari kemenangan, kemenangan itu menjadikan Anda berleha-leha, menjadikan Anda merasa bangga," sambung mufasir lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini.
Dia juga mengajak umat Islam untuk merenungkan kembali makna “Minal aidin wal faizin” yang sebenarnya disampaikan oleh Rasulullah melalui sebuah doa berlafaz Taqabbalallahu minna wa minkum. Makna doa tersebut berarti semoga diterima segala peribadatan pada bulan Ramadhan.
"Jadi Rasulullah itu mengajarkan kita berdoa semoga Allah menerima. Jangan pernah yakin bahwa amalan Anda sudah diterima oleh Allah. Kalau kita tidak yakin seperti itu kita jangan yakin bahwa menang," ujar penulis Lentera Al-Qur'an: Kisah dan Hikmah Kehidupan ini.
Sebagaimana yang tertuang di Al-Qur'an bahwa setan itu mengalir di tubuh manusia seperti mengalirnya darah. Sementara riya itu diibaratkan seperti semut hitam di kelamnya malam dan berjalan di atas batu yang licin. Maka sifat itu tidak bisa Anda lihat. Maka Prof Quraish mengimbau agar senantiasa membentengi diri dengan tidak memuji diri secara berlebihan.
Bukan Kembali Suci
Idul Fitri oleh masyarakat, bahkan para tokoh agama, sering diartikan sebagai 'kembali suci'. Para khatib sering memberi kabar gembira kepada masyarakat yang telah menyelesaikan ibadah puasa Ramadhan bahwa pada saat idul fitri mereka telah kembali suci, bersih dari semua dosa.
Setelah itu diikuti dengan meminta maaf kepada sesama, tetangga kanan-kiri. Sehingga usai hari raya, kembali layaknya bayi yang baru dilahirkan, suci dari semua dosa.
Turunan dari pemaknaan 'Kembali Suci' sebagian masyarakat menyebut tanggal 1 syawal dengan ungkapan ‘hari yang fitri’.
Dikutip dari laman Konsultasi Syariah, setidaknya ada 2 kesalahan fatal terkait hal pandangan kembali suci tersebut. Pertama adalah kesalahan bahasa dan yang kedua yakni kekeliruan keyakinan bahwa semua dosa akan diampuni.
Mengapa demikian?
Idul fitri berasal dari dua kata; id [arab: عيد] dan al-fitri [arab: الفطر].
Id secara bahasa berasal dari kata aada – ya’uudu [arab: عاد – يعود], yang artinya kembali. Hari raya disebut ‘id karena hari raya terjadi secara berulang-ulang, dimeriahkan setiap tahun, pada waktu yang sama. Ibnul A’rabi mengatakan,
سمي العِيدُ عيداً لأَنه يعود كل سنة بِفَرَحٍ مُجَدَّد
Hari raya dinamakan id karena berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang baru. (Lisan Al-Arab, 3/315).
Ada juga yang mengatakan, kata id merupakan turunan kata Al-Adah [arab: العادة], yang artinya kebiasaan. Karena masyarakat telah menjadikan kegiatan ini menyatu dengan kebiasaan dan adat mereka. (Tanwir Al-Ainain, hlm. 5).
Sementara, perlu digaris bawahi bahwa fitri tidak sama dengan fitrah. Fitri dan fitrah adalah dua kata yang berbeda, baik arti dan penggunaannya.
Namun, mengingat cara pengucapannya yang hampir sama, banyak masyarakat Indonesia menyangka bahwa itu dua kata yang sama.
Kata fitrah Allah sebutkan dalam Al-Quran,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
Hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (QS. Ar-Rum: 30).
Ibnul Jauzi menjelaskan makna fitrah,
الخلقة التي خلق عليها البشر
“Kondisi awal penciptaan, dimana manusia diciptakan pada kondisi tersebut.” (Zadul Masir, 3/422).
Dengan demikian, setiap manusia yang dilahirkan, dia dalam keadaan fitrah. Telah mengenal Allah sebagai sesembahan yang Esa, tetapi kemudian mengalami gesekan dengan lingkungannya, sehingga ada yang menganut ajaran nasrani atau agama lain. Ringkasnya, bahwa makna fitrah adalah keadaan suci tanpa dosa dan kesalahan.
Sedangkan kata fitri berasal dari kata afthara – yufthiru [arab: أفطر – يفطر], yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Disebut idul fitri, karena hari raya ini dimeriahkan bersamaan dengan keadaan kaum muslimin yang tidak lagi berpuasa ramadhan.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya
1. Hadis tentang anjuran untuk menyegerakan berbuka,
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam) menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya hadia hasan).
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Kata Al-Fithr pada hadis di atas maknanya adalah berbuka, bukan suci. Makna hadits ini menjadi aneh, jika kata Al-Fithr kita artikan suci.
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku, selama mereka tidak menunggu waktu bersuci dengan terbitnya bintang”
Dan tentu saja, ini keluar dari konteks hadits.
2. Hadits tentang cara penentuan tanggal 1 ramadhan dan 1 syawal
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Hari mulai berpuasa (tanggal 1 ramadhan) adalah hari di mana kalian semua berpuasa. Hari berbuka (hari raya 1 syawal) adalah hari di mana kalian semua berbuka.” (HR. Turmudzi 697, Abu Daud 2324, dan dishahihkan Al-Albani).
Makna hadits di atas akan menjadi aneh, ketika kita artikan Al-Fitr dengan suci.
“Hari suci adalah hari dimana kalian semua bersuci”.dan semacam ini tidak ada dalam Islam.
Karena itu, ada yang menganggap kurang tepat ketika fitri diartikan suci, yang sama sekali tidak dikenal dalam bahasa arab.
Editor : Komaruddin Bagja
Artikel Terkait