WONOGIRI, iNews.id – Asal usul Wonogiri tak lepas dari kisah Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa. Dalam bahasa Jawa, Wonogiri berasal kata wana (hutan) dan giri (gunung).
Hutan dan gunung sangat tepat menggambarkan kondisi geografis Kabupaten Wonogiri yang sebagian besar terdiri atas hutan, sawah dan pegunungan. Kabupaten Wonogiri secara geografis terletak di tenggara Provinsi Jawa Tengah.
Wonogiri pada sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Pacitan yang masuk wilayah Provinsi Jawa Timur. Sementara, sebelah selatan berbatasan dengan laut selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan Yogyakarta.
Kabupaten Wonogiri mempunyai luas sekitar 1.822,37 kilometer persegi dengan mata pencaharian penduduk sebagian besar petani dan peternak. Masyarakat Wonogiri banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang dan merantau ke kota-kota besar. Di perantauan, mereka berdagang bakso, mi ayam, bakso cilok, jamu tradisional dan masih banyak lainnya.
Asal usul Wonogiri, pada masa lalu menjadi basis perjuangan Raden Mas Said melawan penjajahan Belanda. Raden Mas Said dalam sejarahnya kemudian menjadi penguasa Pura Mangkunegaran di Kota Solo dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC, karena di dalam peperangan Raden Mas Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Raden Mas Said lahir di Kartasura pada Minggu, 8 April 1725. Dia merupakan putra dari Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro dan Raden Ayu Wulan yang wafat saat melahirkannya. Saat Raden Mas Said berusia dua tahun, ia harus kehilangan ayahnya karena dibuang Belanda ke Srilanka.
Pada masa kecil, kehidupan Raden Mas Said jauh dari suasana layaknya bangsawan keraton. Masa kecil lebih banyak bersama anak-anak para abdi dalem. Hal ini yang membuat Raden Mas Said sangat mengerti kehidupan rakyat kecil, sekaligus menempanya memiliki sifat peduli terhadap sesama.
Ada peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah karena mendapat ketidakadilan di keraton. Pada masa Raja Paku Buwono II, Raden Mas Said hanya sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) atau sejajar dengan Abdi Dalem Manteri. Sesuai kedudukannya, Raden Mas Said semestinya menjadi Pangeran Sentana.
Ia lalu mengadukan hal itu kepada raja. Ketika di keraton, Patih Kartasura tidak merespons aduannya. Sang Patih justru memberi sekantong emas kepada Raden Mas Said. Hal ini membuat Raden Mas Said murka karena dirinya menuntut keadilan dan bukan mengemis.
Raden Mas Said bersama pamannya, Ki Wiradiwangsa dan Raden Sutawijaya yang mengalami nasib sama, selanjutnya membicarakan ketidakadilan yang menimpa mereka.
Raden Mas Said lalu memutuskan keluar keraton dan melawan raja. Dalam pengembaraan, Raden Mas Said bersama pengikutnya mencari daerah yang strategis guna menyusun kekuatan. Pada Rabu 19 Mei 1741, Raden Mas Said berada di Dusun Nglaroh (wilayah yang kini masuk Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri).
Pada saat itu, ia memakai sebuah batu untuk menyusun strategi melawan ketidakadilan. Batu ini dikemudian dikenal sebagai Watu Gilang yang merupakan tempat awal mula perjuangan Raden Mas Said melawan segala bentuk penjajahan.
Asal usul Wonogiri, di lokasi ini Raden Mas Said mulai menggelar pertemuan guna menghimpun kekuatan, sekaligus mendirikan pemerintahan meskipun sederhana. Selain itu juga dibentuk pasukan inti yang selanjutnya berkembang menjadi perwira perang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo.
Perjuangan Raden Mas Said didukung rakyat Nglaroh dan Kiai Wiradiwangsa yang kemudian diangkat sebagai patih. Ini menjadi cikal bakal pemerintahan yang kemudian menjadi Kabupaten Wonogiri.
Raden Mas Said mengeluarkan semboyan ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah Kawulo Gusti atau Pamoring Kawulo Gusti. Semboyan ini menjadi pengikat tali batin antara pemimpin dengan rakyatnya.
Ikrar berbunyi Tiji tibeh, Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh. Ikrar ini membawa konsep kebersamaan antara pimpinan dan rakyat maupun sesama rakyat. Raden Mas Said juga menciptakan konsep manajemen pemerintahan yang dikenal sebagai Tri Darma, yakni Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Hangrungkebi.
Raden Mas Said merupakan tokoh yang gagah berani melawan musuh. Meskipun hanya dengan prajurit sedikit, ia tidak akan gentar. Raden Mas Said sebagai sosok panglima perang yang mumpuni. Selama hidup, ia sudah melewati sekitar 250 pertempuran tanpa mengalami kekalahan.
Kehebatan ini membuatnya mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena dianggap sebagai penebar maut (penyambar nyawa) bagi musuh di pertempuran.
Raden Mas Said memiliki taktik pertempuran yang mumpuni serta bergerilya. Wilayah perjuangannya meluas meliputi Ponorogo, Madiun Rembang, dan Yogyakarta. Setelah dibujuk Raja Paku Buwono III, Raden Mas Said akhirnya bersedia diajak berunding guna mengakhiri pertempuran.
Dalam perundingan yang melibatkan Raja Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan Kompeni Belanda, disepakati Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.
Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di Salatiga. Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Wonogiri) sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo (Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul.
Asal usul Wonogiri, KGPAA Mangkunegara I membagi wilayah Wonogiri menjadi lima daerah yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan. Daerah pertama Nglaroh (Wonogiri bagian utara). Kedua daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan). Ketiga daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri). Keempat daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur). Sedangkan kelima adalah daerah Honggobayan (daerah timur laut Wonogiri).
Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut.
Raden Mas Said memerintah sekitar 40 tahun dan wafat pada 28 Desember 1795. Setelah Raden Mas Said meninggal, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan putra-putranya. Pada masa kekuasaan KGPAA Mangkunegara VII, terjadi peristiwa penting sekitar tahun 1923, yakni perubahan status daerah Wonogiri yang dahulu hanya berstatus kawedanan menjadi kabupaten.
Saat itu Wedana Gunung Ngabehi Warso Adiningrat diangkat menjadi Bupati Wonogiri dengan pangkat Tumenggung Warso Adiningrat. Dari perubahan status ini, wilayah Wonogiri dibagi menjadi 5 kawedanan, yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro.
Pada saat itu, wilayah kekuasaan Mangkunegaran melakukan penghematan anggaran dengan menghapuskan sebagian wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Karanganyar, sehingga wilayah Mangkunegaran manjadi dua, yaitu Kabupaten Mangkunegaran dan Kabupaten Wonogiri. Ini berlangsung sampai tahun 1946.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dan dalam perjalanannya hingga tahun 1946, di wilayah Mangkunegaran terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Kabupaten Wonogiri masih dalam wilayah monarki Mangkunegaran, dan di lain pihak menginginkan Kabupaten Wonogiri masuk sistem demokrasi Republik Indonesia.
Timbul gerakan antiswapraja yang menginginkan Wonogiri keluar dari sistem Kerajaan Mangkunegaran. Akhirnya disepakati bahwa Kabupaten Wonogiri tidak menghendaki kembalinya Swapraja Mangkunegaran. Sejak saat itu, Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah.
Asal usul Wonogiri, selain sejarah Raden Mas Said, ada cerita legenda terkait Wonogiri. Salah satunya cerita mengenai seorang pertapa bernama Ki Kesdik Wacana yang kesaktiannya terkenal pada zaman Kerajaan Demak. Dia tinggal di sebuah goa yang dikelilingi pepohonan dan alam yang indah. Penguasa Kerajaan Demak juga berniat untuk menjadikan hutan itu sebagai wisata kerajaan.
Suatu ketika penguasa Demak menginginkan delapan pasang ekor rusa dari hutan itu. Selanjutnya dikirim utusan kerajaan yang bernama Raden Panji untuk meminta rusa ke Ki Kesdik Wacana dan permintaan disanggupi.
Dengan kesaktiannya, Ki Kesdik Wacana memasukkan delapan pasang rusa ke bumbung atau ruas bambu yang ditutupi lubangnya untuk dijadikan wadah. Setelah itu, diserahkan kepada Raden Panji. Pada saat menyerahkan, Ki Kesdik Wacana berpesan bahwa rusa dimasukkan ke dalam bumbung agar mudah membawanya.
Dia mengingatkan agar bumbung jangan dibuka sebelum sampai di hadapan raja. Dalam perjalanan menuju Demak, pikiran Raden Panji dipenuhi rasa penasaran. Sebab sangat tidak logis kalau delapan pasang rusa yang berarti 16 ekor bisa masuk ke bumbung.
Raden Panji yang penasaran, ketika di hutan jati yang lebat membuka tutup bumbung itu. Dari dalam bumbung, keluar makhluk-makhluk kecil yang menjelma menjadi delapan pasang ekor rusa. Langsung saja, delapan pasang ekor rusa berlari masuk ke dalam hutan.
Raden Panji berusaha mengejar rusa yang berlarian ke dalam hutan sampai kopiahnya jatuh ke tanah. Namun usahanya dalam mengejar rusa gagal. Raden panji menyesal dan sedih. Dia malu pada diri sendiri. Dia juga takut terkena murka sang raja. Dia juga malu jika kembali ke pertapaan Ki Kesdik Wacana.
Pada sisi lain, Ki Kesdik Wacana sudah mengetahui peristiwa itu. Dia segera menyusul Raden Panji. Di perjalanan Ki Kesdik Wacana menemukan kopiah Raden Panji yang tergeletak di tanah. Setelah itu, tempat tersebut diberi nama Wana Kethu. Wana artinya hutan atau alas. Sedangkan kethu artinya adalah kopiah atau topi atau penutup kepala.
Singkat cerita, Ki Kesdik Wacana bertemu dengan Raden Panji. Raden Panji meminta maaf atas kesalahannya. Ki Kesdik Wacana sebenarnya kasihan kepada Raden Panji. Namun yang bersalah tetap harus dihukum. Raden Panji dirubah bentuk tubuhnya menjadi seekor rusa wulung agar menjadi penunggu hutan jati ini.
Setelah peristiwa itu, Ki Kesdik Wacana naik ke atas bukit. Dia berkata jika zaman sudah ramai, bukit ini diberi nama Gunung Giri. Sedangkan sungai yang ada di bawahnya diberi nama Sungai Wahyu yang saat ini lebih dikenal dengan nama Sungai Bengawan Solo.
Pada kesempatan yang berbeda, dikisahkan juga Sunan Giri yang sedang dalam pengembaraan berada di bukit yang dulu pernah ditempati Ki Kesdik Wacana. Sunan Giri kagum dengan keindahan alam hutan di bukit, dan selanjutnya memberi nama Wonogiri.
Demikian tadi kisah asal usul Wonogiri beserta cerita legenda yang mengikutinya. Semoga bermanfaat.
Editor : Ary Wahyu Wibowo
Artikel Terkait