Rudi Hartono selaku Wakil Direktur bidang akademik dan kerja sama Polbangtan Bogor, mengatakan adanya Pauzan yang berkuliah di sana adalah kali pertama untuk Suku Anak Dalam.
“Kalau yang dari daerah berstatus 3 T (terdepan, terluar, tertinggal) banyak,” ungkapnya. Sutradara film itu, Rahmat Triguna alias Mamato mengatakan potret permasalahan sosial seperti dalam film itu sangat mungkin terjadi di wilayah lain.
“Sengaja memilih durasi 15 menit (film) harapannya jadi pemantik diskusi. Film-film yang kami buat berangkat dari empati,” ungkap Mamato seraya mengemukakan proses mendapatkan kepercayaan dari para narasumber membutuhkan waktu yang cukup lama.
Videographer film itu, Ridho Dwi Ristiyanto, menyebut akses transportasi ke wilayah itu jadi tantangan tersendiri. Menuju ke permukiman Suku Anak Dalam bagian luar ditempuh 6 jam travel dari bandara (Kota Jambi), dilanjut ojek motor 2 jam perjalanan, kemudian berjalan kaki sekira 30 menit.
Hal yang cukup merepotkan, lanjut Ridho, adalah persoalan pengurusan perizinan. “Kami tidak langsung bisa syuting. Dibutuhkan pendekatan dahulu kepada para tokoh di sana. Kami sangat terbantu karena telah terlebih dahulu mengenal Pauzan. Pamannya merupakan Tumenggung dan kekeknya mantan Tumenggung, sehingga sangat membantu mempermudah proses perizinan,” katanya.
Rektor Universitas Jambi Prof. Sutrisno yang hadir di kegiatan itu mengatakan perlu kolaborasi bersama untuk mencari solusi persoalan seperti itu.
Editor : Ahmad Antoni
suku anak dalam film pemuda pendidikan orang rimba pertanian gelar sarjana taman nasional wirausaha Produser Film
Artikel Terkait