Pemberlakuan itu biasanya khusus dari orang-orang Asia Timur, seperti Tionghoa, India, Arab. Orang Tionghoa di Sudiroprajan, orang Belanda di Loji Wetan (Sangkrah), dan orang Arab di Pasar Kliwon.
Sehingga warga Tionghoa dilarang bermukim di luar Sudiroprajan. Hal itu karena berada di jalur perdagangan. Setelah tahun 1919, sudah tidak lagi diberlakukan Wijkenstelsel dan Passestelse. Maka warga Tionghoa sudah tidak lagi tinggal di dalam Sudiroprajan.
Di Kampung Balong, harmonisasi antara warga Tionghoa dan Jawa terjaga dengan baik hingga sekarang. Kehidupan sosial komunitas warga Tionghoa banyak mengalami perubahan, seperti upacara-upacara adat, nama, agama, kesenian, perkawinan, kematian, dan mentalitas.
Perubahan ini disebabkan adanya perkawinan campur dengan Jawa, dan penerimaan kebijakan asimilasi masa Orde Baru. Keberadaan warga Tionghoa di Solo itu dilakukan bertahap migrasi.
Pada gelombang pertama, ada beberapa biksu yang masuk ke Solo. Tapi kedatangan mereka dilakukan secara bergantian. Gelombang kedua, ketika zaman Dinasti Ming, termasuk penyebaran Islam ke Nusantara.
Pada gelombang ini mayoritas pria, perempuannya sedikit. Kemudian gelombang ketiga itu, yang datang suami istri. Sehingga kemudian melahirkan apa yang disebut Tionghoa peranakan. Yang di Kampung Balong atau Sudiroprajan dan sekitarnya kebanyakan Tionghoa peranakan.
Editor : Ahmad Antoni
kisah kampung balong kota solo jawa tengah warga tionghoa pasar gede dinasti ming keraton solo keraton kasunanan PB X paku buwono
Artikel Terkait