DEMAK, iNews.id - Masjid Agung Demak yang dibangun Walisongo sejak lima abad lalu hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid yang menjadi simbol syiar dan akulturasi Islam di Pulau Jawa itu selalu ramai dikunjungi jamaah, terutama pada Bulan Ramadan.
Banyak jamaah menunggu waktu berbuka puasa dengan membaca Alquran atau beriktikaf sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Selain membawa kesejukan hati, beriktikaf di dalam masjid pertama di Pulau Jawa ini juga menambah kekhusyukan menjalankan puasa. “Lebih khusyuk kalau iktikaf di masjid ini. Hati terasa adem,” kata seorang jamaah, Abdul Hakim, Selasa (7/5/2019).
Selain mengaji, banyak umat Islam yang datang untuk mengikuti kuliah atau ceramah yang digelar tiap Ramadan di teras masjid. Teras seluas 31x15 meter ini disebut Serambi Majapahit.
Takmir Masjid Agung Demak, Wagiyo menuturkan, serambi dengan delapan tiang berkontruksi ukiran kayu bergaya Majapahit merupakan bantuan dari Sultan Fatah setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintoro dengan gelar Sultan Raden Abdul Fatah Al Akbar Sayidin Panotogomo.
Sultan Fatah kemudian merehab masjid tersebut pada tahun 1479 dan mengubah nama masjid menjadi Masjid Ageng Kasultanan Demak Bintoro. Di atas pengimaman, terdapat lambang kulit bulus atau kura-kura.
“Lambang ini mengartikan Candra Sengkala Memet atau Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna berdirinya Masjid Agung Demak pada Tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi (887 Hijriah),” katanya.
Lambang tersebut juga mengandung prinsip tidak ada paksaan dalam agama. Selain serambi Majapahit, empat soko guru juga menjadi daya tarik pada Masjid Agung Demak.
Empat tiang penyangga ini merupakan hibah dari empat wali terkenal yaitu, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, dan Sunan Bonang.
Editor : Kastolani Marzuki
ramadan 2019 masjid agung demak simbol toleransi beragama akulturasi islam demak walisongo sunan kalijaga
Artikel Terkait