SEMARANG, iNews.id - Sedulur Sikep atau lebih dikenal dengan sebutan masyarakat Samin adalah penghayat kepercayaan yang hidup di sekitar Pati, Rembang, Blora, dan Kudus. Disebut Samin karena pemimpinnya dulu adalah mbah Samin Surosentiko.
Sedulur Sikep memiliki sejarah yang panjang. Berawal dari Samin Surosentiko yang melawan kolonial Belanda dengan menolak membayar pajak atas tanah. Samin terkenal karena ucapannya
"lemah duwek dewe, wit duwek dewe...(tanah dan pohon punya kita sendiri)". Karena dianggap memberontak, Samin Surosentiko dihukum buang oleh Belanda. Ironisnya, setelah Indonesia merdeka dan terjadi peristiwa 65, generasi Sedulur Sikep malah dicap komunis oleh penguasa Orde Baru karena kepercayaannya.
Namun bukannya hilang, generasi Sikep malah semakin tumbuh. Setidaknya sekarang masyarakat umum lebih mengenal ihwal Sedulur Sikep. Adalah kakak beradik Gunretno dan Gunarti kini dianggap sebagai simbol Sedulur Sikep karena pernah gigih berjuang menolak penambangan semen di pegunungan Kendeng tempat mereka hidup dan berkembang.
Pada Sabtu (26/2) pagi, KH Imam Aziz atau Mbah Dukuh berpisah dengan saya dari Jakarta di rest area Batang. “Beliau sebelum ke Jogja akan ke Pati untuk menengok ayahandanya Kyai Aziz. Ketika masih dalam perjalanan, beliau ditelepon sahabatnya, Gunretno, yang mengabarkan bahwa Kyai Wargono, ayahnya, meninggal dunia,” tulis Rumekso Setiyadi (Markijok).
Tanpa pikir panjang Kyai Imam memutuskan menuju rumah duka di Kudus. Sampai di sana ternyata terjadi ketegangan karena otoritas setempat tidak mengizinkan Kyai Wargono dimakamkan di dalam rumah. Demikian kesaksian Mbah Dukuh yang tampak didampingi oleh Gus Imam Baehaqi juga tampak Mas Yunantyo Yas juga berada di lokasi.
Situasi menghangat karena keluarga Gunretno tetap memaksa pemakaman di dalam rumah, dengan alasan sesuai wasiat almarhum. Dilakukanlah perundingan tak jauh dari rumah duka. Ada Gunretno, Gunarti, tokoh Syuriah NU setempat, Kepala Kesbangpol Kudus, beberapa pejabat polisi dan tentara. Kyai Imam pun ikut diskusi untuk menengahi.
Menurut Petinggi (sebutan untuk kepala desa setempat), ada Perda di Kabupaten Kudus yang melarang pemakaman di dalam rumah. Meski Gunretno sudah memberikan pengertian, namun tidak juga berhasil. Gunretno berinisiatif jika pemakaman tidak boleh di dalam rumah, maka jenazah akan dibawa ke rumahnya di Pati.
Di tengah perundingan, staf Gubernur Jateng Ganjar Pranowo datang. Selain menyampaikan duka cita, juga meminta maaf Ganjar tidak bisa takziah karena sakit. Rupanya staf itu pun sudah mengetahui soal kabar pelarangan pemakaman tersebut.
Editor : Ahmad Antoni
Sedulur Sikep samin bupati kudus gubernur jateng ganjar pranowo kolonial belanda komunis pemakaman pemakaman di rumah Membayar pajak
Artikel Terkait