“Ingat huruf Jawa o dan a punya perbedaan yang sangat penting. Kalau Sala ditulis dengan huruf Jawa nglegena atau telanjang. Kalau ditaling-tarung jadi o, makanya So–lo gitu. Alasannya Sala jadi Solo karena orang Belanda susah ngomong Sala,” katanya.
Guru besar bidang ilmu sejarah UNS ini menjelaskan, Desa Sala yang awalnya merupakan desa perdikan berubah menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat.
Pemilihan Desa Sala sebagai lokasi baru keraton didasarkan pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B. Van Hohendorff usai Keraton Kartasura hancur akibat peristiwa Geger Pecinan.
Dalam sejarahnya, Geger Pecinan terjadi akibat pemberontakan pada tahun 1740 yang berhasil menghancurkan Keraton Kartasura. Walaupun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, namun Raja Pakoe Boewono (PB) II yang kala itu berkuasa, menganggap lokasi keraton sudah kehilangan kesuciannya.
Editor : Ary Wahyu Wibowo
Artikel Terkait