Dia bersama warga kemudian membongkar Bong Pay tersebut, jumlahnya ada 17 buah. Kemudian diserahkan ke pihak PSMTI. Pihaknya juga mengganti tutup selokan warga.
“Mereka (PSMTI) intinya terima kasih dengan tindaklanjut apa yang kita di sini, di wilayah yang kita lakukan dan mereka sendiri juga menyadari dan tidak ada unsur kesalahan di warga kita, karena ketidaktahuan dan itu sudah berlangsung lama. Dari tahun 60an mungkin itu dulu di sini, udah lama banget,” bebernya.
Dewan Pakar PSMTI, Dewi Susilo Budiharjo menyebut memang tidak etis jika ada kesengajaan Bong Pay itu sampai jadi tutup selokan. Namun demikian, dia memaklumi ketidaktahuan warga.
“Memang membuat terenyuh ketika ada Bong Pay jadi tutup selokan, jadi alat cuci pakaian. Tapi saya yakin karena ini ketidaktahuan warga,” kata Dewi.
Dewi berharap persoalan seperti itu tidak berlarut-larut apalagi terus viral di media sosial. Di Kota Semarang, sebutnya, warga yang heterogen termasuk pendatang dari Tionghoa dan etnis lain, hidup rukun berdampingan saling toleransi.
Mengenai video itu, Dewi mengatakan sebenarnya itu diposting sejak 2 tahun lalu. Ketika itu ada peneliti yang sedang mengamati Tionghoa peranakan di Kota Semarang. Dia juga heran kenapa video itu baru viral sekarang.
“Tidak perlu berlarut-larut, apalagi diviralkan lagi. Kami berterimakasih sekali kepada Pemerintah Kota Semarang, kelurahan dan warga, yang memfasilitasi, kemudian (Bong Pay) itu dibongkar,” katanya.
Dewi menyebut memang perlu ada edukasi kepada warga termasuk juga upaya agar Bong Pay jadi salah satu artefak sejarah. Sebab, tak jarang Bong Pay itu dari abad ke 16 hingga 17 lalu.
Menurutnya perlu ada edukasi lagi ke warga karena bisa saja Bong Pay itu jadi sejarah masuknya warga Tionghoa ke Semarang. Karena dari informasi, Bong Pay tersebut dari abad 16-17.
“Bisa diteliti, jadi bisa tahu juga (lewat Bong Pay) itu, kapan orang-orang Tionghoa masuk ke Semarang,” ucapnya.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait