Begini Pandangan Satgas Covid-19 RS UNS jika Pemerintah Longgarkan PPKM
SOLO, iNews.id – Pemerintah diminta memperhatikan potensi lonjakan kasus Covid-19 jika nanti melonggarkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Vaksinasi Covid-19 diharapkan secepat dan sebanyak-banyaknya karena efek baru dirasakan manfaatnya setelah mencapai 40 persen.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Rumah Sakit (RS) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, dr Tonang Dwi Ardyanto mengatakan, sebenarnya Indonesia tengah dilanda gelombang ketiga Covid-19. Hal itu dapat dilihat dari pertambahan kasus Covid-19 yang melonjak drastis. Kemudian RS yang kewalahan menerima pasien positif Covid-19, dan banyak tenaga kesehatan (nakes) terpapar SARS-CoV-2.
“Kita pernah menjadi yang tertinggi dan terbanyak di Asia, tapi saat ini sedang turun. Ini posisi menggambarkan kita sebenarnya ada di gelombang ketiga, hanya gelombang pertama seolah-olah tidak merasakan,” kata dr Tonang Dwi Ardyanto melalui keterangan tertulis dari Humas UNS Solo, Kamis (22/7/2021).
Berdasar realita di lapangan, saat ini instalasi gawat darurat (IGD) di sejumlah RS mengalami pertambahan antrean yang banyak. Contohnya di RS UNS, antrean di IGD bisa mencapai 20-25 orang.
“Sedangkan di RSUD Moewardi Solo bisa sampai 60 orang. Ada yang sampai di tenda, ada yang di selasar. Pasien menunggu untuk kamar. Itu kondisi hari ini yang tidak disangka,” katanya.
Jika pemerintah jadi melonggarkan PPKM, yang perlu diperhatikan adalah potensi terjadinya lonjakan kasus Covid-19, seperti yang dialami oleh Inggris, Malaysia, India. Termasuk Singapura yang dinilai sebagai negara paling berhasil menanggulangi pandemi Covid-19.
Dengan merebaknya Covid-19 varian delta dari India, membuat pertambahan kasus Covid-19 di Inggris dan Malaysia melonjak drastis, bahkan lebih tinggi daripada Indonesia. Namun yang perlu diperhatikan adalah angka kematian pasien akibat Covid-19 di Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia dan Inggris.
“Sebenarnya kita belum setinggi Malaysia dan UK. Tapi dalam hal kematian harus kita akui hampir mengalahkan Malaysia, walaupun kasusnya Malaysia lebih berlipat dari kita,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia diharapkan banyak belajar dari negara-negara di dunia dalam pengambilan keputusan untuk pembatasan aktivitas masyarakat dan vaksinasi Covid-19. Ia mendorong Kementerian Kesehatan menggencarkan tes Covid-19 hingga 15 kali lipat dari standar yang ditetapkan WHO. Hal ini pernah dilakukan India saat Covid-19 varian delta pertama kali merebak di negara tersebut.
“Saat ini kita masih tinggi. Kalau antigen saja kita 29,1 persen. Kalau PCR 38,6 persen. Kemarin sempat 47,6 persen jadi belum stabil posisi kita,” tuturnya.
Pemerintah sebaiknya perlu mengkaji ulang pelonggaran PPKM, sebab masyarakat yang mendapat suntikan pertama dengan suntikan kedua vaksin Covid-19 belum mencapai persentase yang diinginkan.
Sebagai contoh di Inggris, berani untuk melonggarkan penguncian wilayah karena 88 persen masyarakatnya sudah mendapat suntikan pertama vaksin Covid-19. Serta yang mendapat suntikan kedua vaksin Covid-19 sudah mencapai 60 persen.
Oleh karenanya, dr Tonang mendorong agar pemerintah secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya melakukan vaksinasi Covid-19 untuk masyarakat. Sebab, efek dari vaksinasi Covid-9 baru dapat dirasakan manfaatnya jika sudah mencapai 40 persen.
“Kita berharap efek vaksinnya bisa terasa. Ini bukan berarti pandemi selesai, tapi jumlah kasus bisa di bawah jumlah yang sembuh. Misalnya di Chili, yang divaksinasi Covid-19 adalah lansia. Dampaknya kasus positif bergeser ke remaja, kemudian ke anak-anak. Makanya remaja dan anak-anak juga perlu divaksin,” ucapnya.
Editor: Ary Wahyu Wibowo