Namaku Layla dan Aku Lebih Mulia dari 1.000 Bulan
Ada jawaban yang berbeda. Al-Hasan al-Bashri mengatakan Laylatul Qadr datang pada malam ke-17 Ramadan. Ulama lain, Anas menyebutnya pada malam ke-19. Sedangkan Muhammad bin Ishaq menyebut pada malam ke-21, Ibn Abbas menyatakan Laylatul Qadr hadir pada malam ke-23.
Ulama lainnya, Ibn Mas’ud menyatakan pada malam ke-24, Abu Dzar di malam ke-25, Ubay bin Ka’ab dan jamaah sahabat menyebut pada malam ke-27. Sedangkan ulama dan sahabat lainnya menyatakan pada malam ke-29.
Dosen Senior Monash Law School ini mengatakan, perbedaan pandangan sahabat Nabi dan ulama di atas merupakan ijtihad mereka untuk mencari keberadaan diriku.
“Semua usaha sungguh-sungguh akan mendapatkan pahala ijtihad, yaitu kalau benar dapat dua pahala, kalau salah pun, tetap dapat satu pahala. Enak kan?,” katanya.
Bagaimana mungkin ibadah yang dijalankan pada malam itu, sama sebagaimana dijalankan pada malam lainnya, tapi kok nilainya bisa lebih dari seribu bulan? Bagaimana penjelasannya?
Menurut Tafsir ar-Razi, dapat saja satu amalan yang pada lahirnya sama dengan amalan yang lain, bahkan mungkin pada lahirnya kurang, tetapi bisa mendapat nilai tambah dibanding dengan amalan serupa.
Contohnya, salat yang sama jika dilakukan berjama’ah bisa mendapat pahala 27 kali lebih banyak dibanding shalat sendirian. Padahal shalatnya sama, bacaan dan gerakannya juga sama.
Begitu juga dengan makmum yang terlambat (masbuk) dapat langsung rukuk bersama imam tanpa membaca Al-Fatihah, namun pahalanya 27 kali lebih banyak ketimbang salat sendirian yang sempurna dengan bacaan Al-Fatihah.
Inilah penjelasan kenapa ibadah yang sama namun dilakukan di malam yang mulia, maka nilainya bisa melebihi seribu bulan. Namaku Layla. Aku lebih mulia dari seribu bulan. Semoga aku bertemu dengan kalian.
Nadirsyah Hosen
(Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen senior Monash Law School)
Editor: Kastolani Marzuki