Sosok Wilma M Sinaga, Atlet Catur Tunanetra Andalan Indonesia di Asian Para Games 2023

Sedangkan, ayahnya pergi meninggalkannya karena tidak bisa menerima takdir bahwa Margaretha dan kedua adiknya terlahir sebagai tuna netra.
Keterlibatannya di cabor catur dimulai saat dirinya bersekolah di bangku TK Yayasan Tunanetra di bawah naungan gereja di Jerman yang ada di dekat rumahnya pada tahun 1996.
"Awalnya masih TK. Di sana kami dikasih pendidikan formal dan ekskulnya ya. Jadi ada banyak ada olahraga seni," katanya sembari mengingat.
Marghareta mengaku sempat mencoba sejumlah ekskul seperti paduan suara dan olahraga lempar lembing, namun ia merasa tidak pernah ada perkembangan. Pada akhirnya Margaretha memilih cabor catur dan merasa nyaman di tempat itu.
"Karena catur itu belajarnya melatih berpikir 3-5 langkah ke depan, strategi dan berhitung. Membantu juga saat di sekolah matematikanya terbantu karena di catur itu, mainnya menghitung ya," ujarnya.
Selain itu, catur dianggapnya sebagai olahraga yang paling mudah untuk Margaretha dilakukan. " Kalau catur itu latihannya gak ribet. Gak harus kelapangan lapangannya kan harus dibawa karena papan catur. Kalau gak main pakai papan juga bisa namanya blind chess, jadi namanya catur turna netra, kita bisa main tanpa memegang bidak caturnya. Jadi udah kebayang kotak 64 itu," ujarnya.
Menetapkan hati cabor catur kesulitan demi kesulitan mulai menghinggapi Margaretha. Meski telah di dampingi pelatih ia mengaku harus berusaha dua kali lipat untuk mencapai level tertinggi.
Editor: Ahmad Antoni