Terakhir, UKM Anindya Batik di Jalan Kedungmundu, Semarang, yang dikelola oleh Lisa Farida. UKM ini sempat terjatuh dan berhenti produksi selama masa awal pandemi Covid-19.
Masa awal itu Anindya Batik tidak mendapat satu pun order baju batik dan 11 pameran hingga bulan Desember batal. Namun UKM yang membina kawan difabel seperti tuna rungu dan tuna wicara itu akhirnya bangkit setelah berinovasi dengan membuat masker batik.
"Awal pandemi yaitu bulan Maret-April kami menangis, bukan hanya saya tetapi semua karyawan juga menangis karena saya liburkan. Mereka takut karena masih anget-angetnya corona. Kami benar-benar stop produksi, akhirnya ada customer dari Surabaya minta dikirim masker batik abstrak," ucapnya.
Bak oase di tengah padang pasir, pesanan masker itu memantik semangat Anindya Batik untuk memproduksi secara massal masker batik tersebut. Luar biasanya ia berhasil menampung lebih banyak kawan difabel. Setidaknya ada 10 kawan difabel yang dirumahkan dari industri konveksi dan sepatu.
"Dari awalnya kami terdampak karena pandemi sampai akhirnya kami justru buka lapangan pekerjaan karena orderan banyak. Mereka ada yang dari pabrik sepatu dan konveksi yang industrinya tutup yang difabel saya panggil untuk main ke sini. Mereka bilang bisa mengerjakan dan akhirnya ikut ambil kain dikerjakan di rumah. Kurang lebih 10 orang baru yang ditarik selama pandemi, termasuk yang bekerja di pabrik di Pekalongan," ujarnya.
Sementara, Ganjar Pranowo mengatakan tiga UKM itu merupakan contoh bagaimana usaha kecil menengah bisa bertahan dengan caranya masing-masing. Ganjar pun mengajak warga membeli produk dari dalam negeri untuk meningkatkan ekonomi.
“Ini semuanya bisa bekerja dan produksinya jalan terus-menerus. Ini karya-karya mereka yang perlu kita support, musti kita beli. Kita beli produk teman kita rame-rame," ucapnya.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait