Di samping injeksi plasma, Sriyanto juga minta disuntik tosilizumab. Dirinya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, dia berusaha berpikir logis karena pengobatan medis sudah teruji.
"Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp8 juta. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang enam jam pascasuntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustrasi," katanya.
Di hari kedelapan, Sriyanto mendapat injeksi plasma yang kedua kalinya. Setelah itu, dirinya tertidur selama 12 jam. Seluruh badan terpasang alat EKG, oksigen 5 liter, dan infus 2 jalur.
"Seharian itu saya hanya tertidur. Begitu terbangun, badan terasa lebih ringan dan segar. Batuk juga sudah berkurang banyak dan demam perlahan menurun," ujarnya.
Memasuki hari kesembilan, demam sudah menghilang. Suhu tubuh normal meskipun tidak minum obat penurun panas. Batuk berkurang hingga 75 persen. Badan lebih ringan dan hatinya juga bahagia.
Terlewati sudah masa-masa kritis. Terlewati sudah pertarungan antara hidup dan mati. Dia akhirnya sudah bisa merasakan empuknya nasi, tidak keras lagi seperti sebelumnya.
"Alhamdulillah saya bersyukur sekali bisa mendapatkan tosilizumab dan plasma. Dari pengalaman masa isolasi kemarin, terbukti acterma dan plasma sangat cocok mengobati pasien CovidD-19, bahkan yang memiliki komorbid diabetes," katanya.
Saat ini, kondisi Sriyanto sudah membaik dan sedang masa pemulihan. Begitu pula dengan anak semata wayangnya. Mereka berdua bahkan sudah pulang ke Wonogiri dan sudah bisa bersepeda di sekitar rumah.
"Namun, sedihnya kondisi ayah mertua tak dapat tertolong. Beliau tak bisa bertahan dan mengembuskan napas terakhir pada tanggal 21 November 2020. Beliau dimakamkan secara protokoler Covid-19," katanya.
Sriyanto menceritakan, saat mendengar kabar duka itu, dirinya sedang berada di ruang isolasi. Semua kesedihan sepertinya menimpa dirinya, mulai tak bisa menelan makanan, demam tinggi, batuk parah, anak diisolasi, dan mertua meninggal. Rasanya segala kepedihan muncul bersamaan.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait