Supaya tidak dicurigai Belanda, kedua tokoh tersebut membuka perkampungan baru bersama laskarnya. Kiai Sirojudin membuka perkampungan di Dukuh Krajan, sementara Kiai Ronosentiko babat alas di daerah Bancaan, sekitar tiga kilometer jauhnya dari Krajan.
Belakangan, Kiai Sirojudin mengganti namanya menjadi Damarjati. Hal itu terpaksa dilakukan karena dia berserta Kiai Ronosentiko merupakan sosok yang diburu Belanda. Di Salatiga, kedua ulama tersebut ditugasi untuk mematamatai Belanda. Salatiga sejak dulu memang dikenal sebagai basis militer Belanda di Jawa Tengah.
Mengingat dirinya juga sebagai ulama, Kiai Sirojudin dengan dibantu laskarnya membangun sebuah langgar di perkampungan yang dibukanya. Langgar yang kelak menjadi masjid tersebut oleh Kiai Sirojudin dijadikan sebagai pusat segala aktivitas. "Tidak hanya beribadah, namun juga melakukan syiar Islam kepada masyarakat," ujarnya.
Kiai Sirojudin dikisahkan menetap di Krajan hingga akhir hayatnya. Saat wafat, jenazahnya dimakamkan di seberang masjid. Untuk mengenang jasa-jasanya, warga setempat menamai masjid tersebut dengan nama Masjid Damarjati.
"Dulu, saat Ramadan masjid banyak dikunjungi oleh jamaah. Selain melaksanakan shalat fardhu, mereka memanfaatkan teras masjid untuk beristirahat melepas lelah," ujarnya.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait