Dia sangat menyukai sejarah dan melihat Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa dan harus dipelihara. Sehingga sejarah dan kebudayaan harus dikenalkan dan menjadi kurikulum modul di sekolah. Dalam galeri sejarah Surakarta, dibagi menjadi enam ruangan.
Pertama adalah sajian umum ketika persentuhan dengan VOC hingga revolusi. “Pada tembok ini kami bagi tiga shaf, di atas sejarah Solo, di tengah sejarah nasional, dan di bawah sejarah dunia. Sejarah itu tidak berdiri sendiri,” ujarnya.
Dalam galeri, diceritakan setiap 100 tahun ternyata terdapat perubahan. Dalam galeri juga menampilkan ruang revolusi. “Ruang revolusi itu penting sekali karena ternyata sumbunya di Solo,” kata Nina.
Dirinya mengerjakan galeri sejarah Surakarta karena prihatin dengan suasana Kota Solo tahun 2000 lalu ketika Keraton Solo terjadi konflik hingga saat ini. Bahkan dirinya sampai membuat tesis atau buku yang datanya dari Den Haag, Belanda dan internet.
Editor : Ahmad Antoni
Artikel Terkait