Konflik Wali Kota Tegal dengan Wakilnya Memanas karena Dua Faktor Ini

SEMARANG, iNews.id - Konflik antara Wali Kota Tegal, Dedy Yon Supriyono dengan Wakilnya, Muhammad Jumadi sejatinya simbol hubungan yang tidak harmonis atau disharmonis yang mudah dijumpai dan tidak mengherankan. Hal itu disampaikan pengamat kebijakan publik Pudjo Rahayu Risan.
Menurutnya, konflik yang terjadi antara kepala daerah dengan wakilnya, bervariasi dari yang ringan, sedang dan berat. Contoh yang berat seperti di Kota Tegal, yang sekarang ini sedang ramai diperbincangkan publik.
Hubungan yang tidak harmonis dan sudah pada tahapan konflik, yang berujung Wali Kota Tegal melaporkan wakilnya ke Polda Jawa Tengah (24/2/2021).
Ini membuat konflik keduanya semakin memanas dan memasuki babak baru. Hubungan keduanya dikabarkan retak dimana mereka dilantik oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo pada Sabtu (23/3/2019) lalu.
“Konflik itu terdiri dari dua aspek. Konflik terjadi karena aspek eksternal dan internal. Aspek eksternal, ada kecenderungan disebabkan belum siapnya daerah berdiri sendiri dengan sistem otonomi. Walau sistemnya bagus, tetapi SDM tidak mampu mengimbangi apalagi mengimplementasikan, ya percuma,” kata Pudjo, Senin (1/3/2021).
Faktor eksternal ini, lanjut dia, persoalannya akan sangat panjang mulai dari format otonomi daerah, rekruitmen kader partai, jumlah kepala daerah di suatu daerah, perlu tidaknya seorang wakil kepala daerah, termasuk kriteria daerah yang memerlukan wakil kepala daerah dan yang tidak. Faktanya, semua daerah diperlakukan sama.
”Persyaratan calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, disamping lewat jalur perseorangan, terutama yang lewat parpol menjadikan beban eksternal dari kepala daerah dan wakil menjadi sangat berat. Proses pencalonan, ibarat kawin paksa, apalagi bila diajukan atau dicalonkan lebih dari satu parpol atau bahkan banyak parpol,” katanya.
Ia mengatakan, awalnya target adalah memenangkan kontestasi. Yang penting menang. Padahal menjodohkan ibarat kawin paksa. Belum tentu memiliki chemistry yang sama. “Setelah berkuasa pembagian “kue” lebih rumit karena masing-masing tim sukses harus dilibatkan,” ujarnya.
Sedangkan sumber konflik internal antara kepala daerah dengan wakil, masing-masing merasa memiliki kekuasaan. Lebih-lebih ketika wakil merasa elektabilitasnya lebih unggul dari kepala daerah hanya karena nasibnya dipasang jadi wakil. Maka akan muncul matahari kembar.
“Faktor inilah yang bisa jadi kepala daerah menganggap wakilnya sebagai ancaman. Apalagi pada periode pertama, setelah dilantik pikirannya sudah melayang untuk berkuasa kembali di periode kedua. Sementara posisi wakil juga sudah merancang ternyata jadi wakil tidak enak, maka sudah mulai ancang-ancang untuk maju sendiri. Pecah kongsi terjadi,” ujar fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang ini.
Karena kepala daerah lebih berkuasa dan pegang kendali hampir semua aspek dari kewenangan, menyusun anggaran dan kebijakan umum daerah serta mengendalikan SDM Birokrasi, maka terjadilah “amputasi” wewenang, otoritas atau kesempatan dan peluang untuk wakil.
“Cerita klasik, wakil tidak diberdayakan, wakil tidak diberi pekerjaaan, mending diserahkan ke sekda dan bawahannya, rapat-rapat strategis tidak dilibatkan dan banyak lagi kebijakan kepala daerah untuk membatasi gerak wakil,” ujarnya.
Menurut dia, ada kecenderungan birokrasi lebih condong ke kepala daerah karena ada faktor takut, bisa tidak dipakai inilah yang sering memperlakukan hal-hal yang melanggar tata krama birokrasi.
Yang mestinya harus lewat wakil tapi tidak dilakukan dan langsung ke kepala daerah. Maka jangan heran meja kerja wakil bersih karena tidak ada surat yang mampir ke mejanya.
“Tinggal kesabaran wakil. Contoh di Tegal, berdasarkan kabar Wali Kota Tegal digerebek polisi ketika bermalam di hotel Jakarta karena ada laporan kaitannya dengan barang terlarang narkotika. Konon informasi ke polisi dilakukan oleh sang wakil. Karena tidak terbukti, giliran Walikota melaporkan ke polisi,” ujarnya.
Editor: Ahmad Antoni