Sipon Istri Wiji Thukul Dimakamkan, Semangat Perjuangan Mencari Keadilan Tetap Menyala

SOLO , iNews.id - Dyah Sujirah atau Sipon (55), istri penyair dan aktivis HAM Wiji Thukul, dimakamkan di Astana Purwoloyo, Pucang Sawit, Kota Solo, Jumat (6/1/2023). Puluhan pelayat turut mengantar Sipon ke peristirahatan terakhir.
Sebelum dimakamkan, jenazah Sipon disalatkan terlebih dahulu di Masjid Al Anshor, Kampung Kalangan, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jebres.
Adik Wiji Thukul, Wahyu Susilo saat ditemui di rumah duka menilai Sipon adalah seorang perempuan teguh. Dia selama 25 tahun terus memperjuangkan keadilan bagi suaminya.
"Saya kira dia sampai akhir hayatnya enggak menyerah. Dia bukan istri aktivis tapi dia aktivis itu sendiri. Kalau di puisi Thukul ada judulnya ketika jenderal marah-marah. Thukul mengakui bahwa analisisnya mba Pon mengenai situasi terkini. Sehingga Thukul harus melarikan diri, memperlihatkan bahwa mba Pon itu bukan istri aktivis tapi dia aktivis itu sendiri," ujarnya.
Wahyu Susilo pun berharap agar semangat untuk mencari keadilan tetap dilanjutkan. "Mba Pon sudah tidak ada, tapi semangat untuk mencari keadilan kepastian Wiji Thukul dan korban-korban orang hilang itu akan tetap kami lanjutkan," katanya.
Dia, jika perjuangan mendapatkan keadilan itu dapat dilakukan dengan banyak jalan. Semisal melalui tim yudisial pemerintah yang tugasnya untuk menyelesaikan persoalan HAM.
"Saya kira ini menjadi pelajaran juga bagi mereka. Bahwa mengedepankan kebutuhan korban itu urgen. Karena banyak korban- korban menanti keadilan. Sampai tidak bisa menikmati apa yang harusnya dia dapatkan. Ya dari proses penegakan HAM ini sendiri," ujarnya.
Wahyu juga berharap anak-anak Sipon mulai dari Wani dan Fajar dapat melanjutkan apa yang selama ini disuarakan.
"Mba Pon itu menjadi inisiatif dari keluarga korban untuk mencari kepastian orang hilang. Dia aktif di IKOHI, ikatan orang hilang Indonesia. Dialah yang juga mendorong Komnas HAM. Kemudian menerbitkan sertifikat korban pelanggaran HAM. Terutama untuk orang orang yang hilang, karena banyak orang hilang," ujarnya.
Fajar dan Wani yang dulu kesulitan mengurus dokumen-dokumen. Karena ketidakadilan kejelasan nasib orang tuanya, juga dapat diperjuangkan oleh Mba Pon.
"Mba Pon memperjuangkan adanya sertifikat atau surat keterangan korban pelanggaran HAM yang kemudian itu dikeluarkan oleh Komnas HAM. Itu kemudian menjadi preseden untuk korban-korban yang lain. Inilah yang membuktikan bahwa mba Pon sendiri adalah seorang pejuang HAM," ujarnya.
Editor: Ahmad Antoni