Pada masa kecil, kehidupan Raden Mas Said jauh dari suasana layaknya bangsawan keraton. Masa kecil lebih banyak bersama anak-anak para abdi dalem. Hal ini yang membuat Raden Mas Said sangat mengerti kehidupan rakyat kecil, sekaligus menempanya memiliki sifat peduli terhadap sesama.
Ada peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah karena mendapat ketidakadilan di keraton. Pada masa Raja Paku Buwono II, Raden Mas Said hanya sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) atau sejajar dengan Abdi Dalem Manteri. Sesuai kedudukannya, Raden Mas Said semestinya menjadi Pangeran Sentana.
Ia lalu mengadukan hal itu kepada raja. Ketika di keraton, Patih Kartasura tidak merespons aduannya. Sang Patih justru memberi sekantong emas kepada Raden Mas Said. Hal ini membuat Raden Mas Said murka karena dirinya menuntut keadilan dan bukan mengemis.
Raden Mas Said bersama pamannya, Ki Wiradiwangsa dan Raden Sutawijaya yang mengalami nasib sama, selanjutnya membicarakan ketidakadilan yang menimpa mereka.
Raden Mas Said lalu memutuskan keluar keraton dan melawan raja. Dalam pengembaraan, Raden Mas Said bersama pengikutnya mencari daerah yang strategis guna menyusun kekuatan. Pada Rabu 19 Mei 1741, Raden Mas Said berada di Dusun Nglaroh (wilayah yang kini masuk Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri).
Pada saat itu, ia memakai sebuah batu untuk menyusun strategi melawan ketidakadilan. Batu ini dikemudian dikenal sebagai Watu Gilang yang merupakan tempat awal mula perjuangan Raden Mas Said melawan segala bentuk penjajahan.
Asal usul Wonogiri, di lokasi ini Raden Mas Said mulai menggelar pertemuan guna menghimpun kekuatan, sekaligus mendirikan pemerintahan meskipun sederhana. Selain itu juga dibentuk pasukan inti yang selanjutnya berkembang menjadi perwira perang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo.
Editor : Ary Wahyu Wibowo
Artikel Terkait