Menurut penelitian arkeologi teranyar, kompleks Candi Muarajambi dulunya difungsikan sebagai mahawihara atau universitas atau semacam pusat pengajaran pengetahuan Buddha pada abad 7-13 M. Kompleks ini lengkap dengan ruang kelas, ruang tinggal, ruang peribadatan, hingga kanal buatan untuk kebutuhan transportasi.
Saat ini ada 11 candi berbatu bata yang telah dipugar dan ratusan reruntuhan lain yang sedang dalam proses pemugaran. Perjalanan pemikir Buddha kanon dunia, seperti I-Tsing, Atiśa Dīpankara, serta Serlingpa Dharmakirti mengakar kuat di Muarajambi. Ajaran yang berkembang di Muarajambi menjadi benih beberapa aliran Buddha, khususnya aliran yang telah mekar di Tibet.
Tidak hanya menyoal warisan budaya masa lampau, film dokumenter garapan sutradara Nia Dinata itu juga secara jeli menyoroti bagaimana situs Muarajambi dihidupi oleh bermacam-macam masyarakat dari waktu ke waktu.
Alih-alih situs budaya yang statis, Muarajambi merupakan ruang yang sangat hidup. Sejak direstorasi, selain difungsikan sebagai situs edukasi dan pariwisata, kompleks candi kembali dipakai sebagai tempat peribadatan umat Buddha.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid berharap agar warga desa Muaro Jambi tetap memegang peran utama dalam pelestarian Candi Muarajambi menjadi bagian dari keseharian mereka untuk memuliakan kembali warisan sejarah juga lingkungan dan memastikan akan tetap lestari sampai akhir zaman.
Selain versi feature-length yang diputar perdana pada 3 Juni 2023, Kanal Indonesiana TV akan menayangkan karya Nia Dinata ini dalam versi berbeda yaitu berbentuk serial sebanyak 8 episode.
Editor : Ahmad Antoni
film dokumenter candi Buddha candi borobudur perayaan waisak Kabupaten Magelang candi muarajambi cerita sejarah kemendikbudristek
Artikel Terkait