Konflik Wali Kota Tegal dengan Wakilnya Memanas karena Dua Faktor Ini

Faktor eksternal ini, lanjut dia, persoalannya akan sangat panjang mulai dari format otonomi daerah, rekruitmen kader partai, jumlah kepala daerah di suatu daerah, perlu tidaknya seorang wakil kepala daerah, termasuk kriteria daerah yang memerlukan wakil kepala daerah dan yang tidak. Faktanya, semua daerah diperlakukan sama.
”Persyaratan calon harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, disamping lewat jalur perseorangan, terutama yang lewat parpol menjadikan beban eksternal dari kepala daerah dan wakil menjadi sangat berat. Proses pencalonan, ibarat kawin paksa, apalagi bila diajukan atau dicalonkan lebih dari satu parpol atau bahkan banyak parpol,” katanya.
Ia mengatakan, awalnya target adalah memenangkan kontestasi. Yang penting menang. Padahal menjodohkan ibarat kawin paksa. Belum tentu memiliki chemistry yang sama. “Setelah berkuasa pembagian “kue” lebih rumit karena masing-masing tim sukses harus dilibatkan,” ujarnya.
Sedangkan sumber konflik internal antara kepala daerah dengan wakil, masing-masing merasa memiliki kekuasaan. Lebih-lebih ketika wakil merasa elektabilitasnya lebih unggul dari kepala daerah hanya karena nasibnya dipasang jadi wakil. Maka akan muncul matahari kembar.
“Faktor inilah yang bisa jadi kepala daerah menganggap wakilnya sebagai ancaman. Apalagi pada periode pertama, setelah dilantik pikirannya sudah melayang untuk berkuasa kembali di periode kedua. Sementara posisi wakil juga sudah merancang ternyata jadi wakil tidak enak, maka sudah mulai ancang-ancang untuk maju sendiri. Pecah kongsi terjadi,” ujar fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang ini.
Editor: Ahmad Antoni